“When life changes to be harder,
change yourself to be stronger.”
Tuesday, 19 March 2013.
“Pembagian kelas untuk mata kuliah Bahasa
Inggris sudah fix dan tidak bisa diubah lagi.”
“Pembagian kelas untuk
mata kuliah Bahasa Inggris sudah fix dan tidak bisa diubah lagi.”
“Pembagian kelas sudah fix dan tidak bisa
diubah lagi.”
“Pembagian kelas sudah
fix dan tidak bisa diubah lagi.”
“Sudah fix dan tidak bisa
diubah lagi.”
“Fix.”
“Tidak bisa diubah
lagi.”
..........................................................................................................................................................................
Hati saya ciut saat
tahu bahwa saya harus kembali bertemu seorang
dosen yang pada semester 3 lalu hampir saja membuat saya tak bisa mengikuti
ujian akhir semester Bahasa Inggris karena dia melakukan kebohongan dengan cara
memalsukan absen saya.
Saya segera mengurus
perpindahan kelas ke bagian perkuliahan dan akademik dengan penuh harap bahwa
saya tak akan diajar oleh dosen yang sama.
Tapi hati saya kembali
ciut. Saya terduduk lemas saat mendengar kata – kata yang keluar dari salah
satu orang yang bertugas di bagian akademik di kampus saya.
Saya yang merasakan panas pada mata yang sedari
tadi menahan air mata akhirnya tak sanggup lagi untuk tidak
menangis.
Cengeng? Mungkin mereka
yang tak merasakan menjadi saya bisa seenaknya berkata demikian.
Tapi tahukah …….?
Saya berasal dari
keluarga yang sederhana.
Dan kuliah di tempat
yang selalu harus mengeluarkan uang yang besar membuat saya harus melihat
sendiri perjuangan ibu membanting tulang. Mencari uang tanpa kenal lelah demi
membiayai pendidikan saya.
Sesungguhnya saya
was-was setiap kali waktu ujian tiba. Selalu kelimpungan akan biaya yang harus
dibayarkan agar dapat mengikutinya.
Selalu merasa tak tega
untuk berkata kepada Ibu, “Bu, kita harus membayar sekian untuk dapat ikut
ujian. Kalau belum dibayarkan, aku terpaksa tidak ikut. Nanti ikut ujian
susulan.”
Pernah suatu kali, aku
berkata kepada ibu, “Bu, aku pulang kembali ke rumah ya. Aku belum bisa ikut
ujian karena pembayaran kita belum tuntas.”
Dan saya betul – betul ingat
apa yang ibuku katakan saat menerima pesanku, “Nak, maafkan ibu karena tidak pernah
bisa membahagiakan kamu, ya. Ibu janji akan berjuang mendapatkan uang agar besok
kamu sudah bisa ikut ujian. Kamu jangan
sedih. Tuhan pasti selalu buka jalan untuk kita. Sabar dan banyak berdoa ya.”
Hati saya sesak. Selama
perjalanan pulang hari itu, saya hanya bisa menahan tangis dan pilu yang ada
dalam dada. Berharap segera sampai di rumah dan bisa menangis sejadi – jadinya
tanpa perlu ada yang melihat.
Dan ibu benar – benar memperjuangkan
segalanya mati – matian. Segala biaya yang harus dibayarkan selalu diusahakan
tepat waktu. Betapa hebatnya beliau, bukan? Betapa besar dan tak terhingga kasih
sayangnya untukku? Saya tak pernah lagi mengalami keterlambatan pembayaran.
Hingga suatu hari, di
semester 3, ujian akhir bahasa inggris, dosen pengawas menyebutkan nama saya
menjadi salah satu anak yang bermasalah dan tidak dapat mengikuti ujian.
Saya kebingungan.
Pembayaran sudah saya lakukan, lantas…?
Ternyata dalam daftar
peserta ujian, tertulis TBU-A pada nama saya. Artinya, persentase
ketidakhadiran saya telah melebihi jatah yang diberikan.
Dalam setiap mata
kuliah mahasiswa selalu diberikan jatah sebanyak 3 kali untuk tidak hadir jika
sewaktu – waktu ada keperluan mendadak.
Saya lemas. Senakal
apapun saya membolos, saya takkan pernah berlaku bodoh untuk melebihi jatah absen
yang ada.
Karena saya tahu bila
persentase ketidakhadiran saya berada di bawah standart yang seharusnya, saya
harus mengulang kembali mata kuliah itu di semester yang akan datang. Dan itu
kembali memerlukan biaya.
Lantas, apa masuk akal saya
berbuat demikian? Saya takkan mungkin melakukan hal yang membuat ibu saya
kecewa.
Saya takkan mungkin
menyia-nyiakan perjuangan ibu saya yang rela bekerja dari pagi hingga larut
malam untuk saya.
Dan akhirnya saya dan
teman lain yang juga bermasalah dalam hal absen terpaksa harus mengurus ini –
itu terlebih dahulu cara agar bisa tetap ikut ujian. Selama satu jam kami
memutari kampus hanya untuk mencari dosen Bahasa Inggris yang jujur saja amat
sangat saya benci.
Rasanya saya putus asa.
Pihak kampus selalu mempersulit keadaan. Tanpa pernah mau tahu dan takkan
pernah tahu, ada beberapa orang yang harus berjuang mati – matian agar dapat
tetap menimba ilmu disana.
Sama ketika saat saya pertama
kali tahu saya ditempatkan di kelas yang tidak sesuai dengan urutan nomor induk
siswa milik saya.
Saat saya melakukan
protes, pihak kampus lagi – lagi seperti tak perduli dengan berkata, “Ini sudah
3 kali pertemuan mata kuliah, jadi untuk mengurus perpindahan sudah tidak bisa
lagi. Kecuali kalau kamu memintanya saat awal perkuliahan di mulai.”
Akhirnya untuk pertama
kalinya, saya merasakan api neraka bersama dosen yang benar – benar tidak saya
sukai dalam pelajaran Bahasa Inggris yang sebetulnya amat saya sukai.
Entah apa yang membuat
ia terlihat begitu tidak menyukai saya. Sejujurnya saya tidaklah terlalu bodoh
dalam bahasa inggris tapi ia selalu membuat saya terlihat bodoh di depan yang
lainnya.
Ia juga yang pernah
menyentak saya dengan berkata, “Absen kamu sudah 4 kali. Artinya nanti kamu
takkan bisa ikut ujian.” walaupun teman – teman kelas yang lain sudah
mengatakan bahwa saya masuk pada hari di mana ia kira saya tidak hadir.
Kebenaran berpihak pada
saya. Tugas yang saya kumpulkan di hari itu ia temukan dalam berkasnya.
Saya kira takkan ada
masalah lagi sampai tiba – tiba ia kembali memalsukan ketidakhadiran saya.
Ia mencatat saya telah
5 kali absen. Entah apa tujuannya, mungkin ia tak ingin saya ikut ujian mata
kuliahnya. BETAPA SAYA SEMAKIN SAKIT HATI TERHADAPNYA!
Ia mungkin bisa
menciptakan kebohongan seperti itu. Tapi apa dia mau tahu bahwa sulit untuk
keluarga saya mendapatkan uang agar bisa bersekolah di sana? TIDAK!
DIA TIDAK TAHU BERAPA BANYAK BULIR KERINGAT YANG DIPERTARUHKAN IBU SAYA!DIA TIDAK TAHU BERAPA KALI IBU SAYA JATUH SAKIT KARENA KELELAHAN BEKERJA!DIA TIDAK TAHU SAYA MEMBENCINYA SETENGAH MATI ATAS APA YANG IA LAKUKAN TERHADAP KELUARGA SAYA! TERHADAP PERJUANGAN IBU SAYA!DIA TIDAK TAHU!!!
Apa yang membuat saya
kehilangan kekuatan saya adalah ternyata di semester 4 yang baru ini, Tuhan
menempatkan saya di kelas bahasa inggris bersama dosen yang sama.
Juga perpindahan kelas
yang tak bisa saya lakukan seperti di waktu yang lalu.
Sejujurnya saya masih kesulitan
untuk mengerti. Atau mungkin sudah terlalu lelah untuk mengerti keadaan yang terasa
benar – benar menghimpit hingga saya sesak nafas.
Mencoba tuk menjadi
lebih kuat dengan meyakinkan diri bahwa segala yang pahit adalah awal untuk
segala yang manis, juga isak tangis adalah awal untuk sebuah kebahagiaan.
Mencoba………….
Mencoba………….
Dan terus mencoba…..
Saya tahu Tuhan selalu
memiliki rencana yang lebih baik daripada milik saya. Lagi – lagi saya harus
menguatkan diri saya sendiri.
Dan ibu kembali
membuatku menangis saat ia menghampiri saya dan berkata, “Nak, anggap ini
adalah rintangan untuk kamu meraih kesuksesan.”
“Kamu harus sabar atas
semua kesulitan yang terjadi. Tak ada yang bisa kamu lakukan selain
menghadapinya. Semoga apa yang saat ini terjadi akan membawa kamu kepada masa
di mana kamu akan memberikan kebahagiaan untuk ibu yang mati – matian berusaha
serta berjuang untuk kamu.”
Air mata yang entah
keberapa kalinya kembali menderu deras.
SAYA MEMELUK IBU SEERAT - ERATNYA!
SAYA AKAN BERJUANG UNTUK MASA DEPAN!
SAYA AKAN BERJUANG UNTUKMU, IBU!
………………………………………………………………………………......................................................
“Pernah merasakan sudah berada di
puncak kelelahan tapi masih harus berlapang dada atas sesuatu yg menyesakkan?
Saya pernah. Dan baru saja.”
☺☺☺