Beloved, A.D. ...
Hari itu tegur sapa menjadi pembuka awal cerita kita.
Tiada inginku menaruh rasa saat canda tawa perlahan mengisi
hariku dan harimu.
Tak hanya sekali datang sepintas keraguan mengacaukan aku.
Namun, kunikmati juga perhatianmu.
Tak hanya sekali kupaksa pintu hati ini menutup, berharap
jangan lagi ada luka.
Namun, kuizinkan juga kedatanganmu.
Tak hanya sekali kudapati diriku begitu takut akan ada lagi
kehilangan.
Sebab, kita seolah dekat namun tembok tinggi tegak berdiri
di antara kita.
Tak hanya sekali aku terlelap dengan genangan air mata di
wajahku.
Aku takkan pernah
siap kehilanganmu …
Katakanlah, sayang …
Apa aku tak pernah benar – benar cinta?
Untuk pertama kalinya aku melihat sosokmu berdiri di
hadapanku.
Sepanjang temu, aku tak pernah benar bisa mengalihkan
pandangku,
meski aku coba membuang muka sesekali.
Dan kamu, tak pernah benar bisa berhenti mencandai aku.
Aku takut
kehilanganmu …
Katakanlah, sayang …
Apa aku tak pernah benar – benar cinta?
Aku begitu menikmati segalanya.
Bahkan terkadang aku lupa, seiring kebahagiaan kita, dinding
itu semakin meninggi.
Dan aku kembali terhempas karenanya. Perasaanku koyak.
Seperti muncul luka tanpa aku tahu siapa yang menggoresnya.
Perasaanku hancur.
Semakin erat genggaman tangan kita, pedih semakin
meluluh-lantakkan aku.
Aku makin takut
kehilanganmu …
Katakanlah, sayang …
Apa aku tak pernah benar – benar cinta?
Kuabaikan luka ini, kubiarkan diriku terlena dalam
perhatianmu,
usapanmu pada gerai rambutku,
peluk hangat setiap aku merasa kedinginan,
kecupan manis setiap kali jumpa kita,
candamu yang seringkali menjengkelkan aku,
juga senyum dan tatap matamu yang menenangkan hatiku,
yang aku tahu mungkin esok tak dapat lagi aku nikmati.
Tak pernah berani aku mengatakannya, lewat bisik pun tidak.
Tak pernah berani aku merusak kebersamaan kita.
Meski sungguh, luka ku menganga semakin dalam,
seolah ia tak ingin melihat aku bertahan.
Aku benar – benar takut
kehilanganmu ...
Katakanlah, sayang …
Apa aku tak pernah benar – benar cinta?
Aku tak mampu untuk tidak menangis,
setiap kali kau tanyakan padaku,
“ Apa kamu akan pergi? ”
" Apa kamu akan tinggal selamanya? ”Aku tak mampu untuk menghentikan tangisku,
setiap kali kucoba katakan,
" Tidak, aku tak akan pergi. "
" Aku ingin selalu bersama kamu. "
Sungguh! Aku tak ingin benar – benar pergi …
Aku tak ingin kehilanganmu …
Namun, aku tak ingin membawa kita terhanyut jauh lebih
dalam.
Sebab, takkan sanggup aku merelakan sebuah perpisahan,
ketika genggaman ini semakin terasa berat untuk kita lepaskan.
ketika genggaman ini semakin terasa berat untuk kita lepaskan.
Aku tak
ingin pernah melukai kamu dengan sikap dinginku …
Namun, aku harus ...
Sebab, kita harus berhenti ...
Sungguh! Berada dalam dekapmu selalu menjadi inginku, Namun, aku harus ...
Sebab, kita harus berhenti ...
sebagai tempat ternyaman untukku bersandar.
Aku tak pernah benar
- benar ingin kehilanganmu …
Katakanlah, sayang …
Apa aku tak pernah benar – benar cinta?
Bila kini masih namamu yang ingin selalu kusebut?
Bila kini masih pelukmu yang ingin selalu kurasa?
Bila kini masih
sosokmu yang selalu hadir tiap aku memejam?
Bila kini masih kebersamaan kita yang selalu melintas dalam
heningku?
Bila kini masih air mata yang menderu deras tiap aku
mengingatmu?
Bila kini masih saja benakku mereka ulang segala kenangan tentang
kita?
Katakanlah, sayang …
Apa hanya aku yang masih benar – benar cinta?
Apa hanya aku yang masih benar – benar rindu?
Katakanlah, sayang …
Apa hanya kamu yang masih tak mampu lupa?
Apa hanya kamu yang merasa terluka?
Pikirmu, aku tidak?
Pikirmu, aku tidak?
Katakanlah, “ Aku
(masih) mencintaimu … ”
sebab aku (masih) mencintaimu.
Katakanlah, “ Dapatkah
kita saling kembali menggenggam? “
sebab di hatiku masih ada kamu.
Mungkinkah?
Aku masih tak mampu kehilanganmu …
Aku masih berharap untuk tak pernah kehilanganmu …
-----------------------------
P.s:
I'm still missing you ...
&
Thanks for the memories ...
With love,
Jessica