October 2012

Bola Kaca Eps. 8: How To Say Goodbye





“I have ever seen you holding me. But then you disappeared.
Now all that is left of you is a memory.......”


…………………………………………………………………………………………………………………………………………………...........



TAKDIR.
Tuhan mempertemukan aku dan kamu.
Memberikan kesempatan tuk kita berjalan, berdua, merengkuh apa yang dinamakan CINTA







Membiarkan angan dan asa mengalun membentuk irama dengan ukiran nama KITA.

Sampai akhirnya, kita terhenti saat kuterima sebuah PENOLAKAN karena perbedaan.
Berkali – kali aku bertanya, entah pada siapa, Tuhankah? Diriku? Dirimu? Atau mungkin mereka?
Aku tak pernah tahu harus kutujukan kepada siapa pertanyaan – pertanyaan ini.
Haruskah ada perbedaan?
Bukankah beribu – ribu BEDA akan jauh lebih indah bila menjadi SATU?
Seberapa kuatkah perbedaan dapat menyatukan?
Benarkah perbedaan ada hanya untuk memisahkan?
Adakah yang ingin bersusah – payah menjelaskannya hanya untukku? :’)
Sesungguhnya aku begitu kesulitan menemukan titik penghubung antara perbedaan dengan perpisahan.
Ya, kau boleh sebut aku Si-Liberalis-Yang-Mengagungkan-Kebebasan.
Kebebasan atas nama perbedaan. Termasuk kebebasan untuk mencintai :’)
Acap kali aku berharap ini hanyalah sebuah retorika belaka.
Tak perlu jawaban. Karena aku pun enggan memberikan jawaban.
Karena memang seharusnya tak perlu ada bantahan ataupun perdebatan.
Karena perbedaan lebih syahdu terdengar jika disatukan dengan kebersamaan, bukan perpisahan.
Secercah HARAPAN rupanya masih menyala di tengah – tengah riuhnya sorak – sorai penolakan.
Ia seperti tak mau kalah, ingin memperlihatkan bara apinya yang sesungguhnya hampir padam termakan keputusasaan.
Mencoba beranggapan ini hanyalah tantangan yang harus terlampaui.
Tak ada sedikitpun kata menyerah walau tertatih melakukan PERJUANGAN.
Demi mempertahankan hal yang mereka bilang takkan mungkin bersatu.
Percakapan – percakapan kecil antara aku dan kamu yang penuh haru selalu menjadi sebab derasnya bulir air mata yang mengalir.

Kamu:
Sayaaaaang :*
Aku:
Kangen. Pengen denger suara kamu. Mana hayo VN nya?
Kamu:
Belum pulang ini huhu :( Kamu lagi apa?
Aku:
Tapi nanti kirimin :( Lagi denger lagu hehe.
Kamu:
Iya, aku masih inget kok hehehe. Lagu Sungha Jung ya?
Aku:
Hihi asik aku diinget terus. He’em kok tau lagu Sungha?
Kamu:
Kamu kan suka Sungha hehe.
Aku:
Lebih suka kamu haha.
Kamu:
Hehehe *salting*. Peluuuuk
Aku:
Yah kok salting? *peluk*
Kamu:
Itu lebih suka kamu hehehe. Salting senyum – senyum. Cium peluk :*
Aku:
Sayang kamu.
Kamu:
Sayang Jessy :* peyuk peyukkk :3
Aku masih sedih banget ini :’(
Aku:
Wah udah banjir dari tadi aku hehe :’)
Ayo sabar ya, kamu, hehehe. Kan masih sama – sama kitanya ({})
Kamu:
Maksudnya sama – sama? :’(
Aku:
Iya kan aku di sini, kamu di sana.  nya masih sama.

Kamu:
Iya sih :’) kamu juga sabar ya.
Aku:
Jadi, maksud kamu “nggak mau jatuh lagi” itu karena ini?
Kamu:
Iya, udahlah nggak usah dibahas lagi ya sedih aku :’(
Aku:
Sabar  kalau kamu jatuh lagi cuma ada dua hal, aku bakal ikut jatuh bareng – bareng kamu atau aku bantu kamu berdiri lagi. Aku selalu peduli sama orang – orang yang aku sayang kok. Sama kamu juga gitu :)
Kamu:
Bantu berdiri aja yuk :) berdiri bareng, bahagia juga bareng.
Aku:
Pasti kok {} Hehe, aku seneng ketemu kamu.
Kamu:
Aku juga seneng bisa bareng – bareng sama kamu, walaupun cuma sebentar dan harus kayak gini :’)

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Saling memberikan kekuatan, mungkin hanya itu yang dapat kita lakukan saat itu.
Mengucap JANJI  untuk mempertahankan, mengisi sisa – sisa hari tuk melakukan hal - hal menyenangkan.
Seolah tak memperdulikan perbedaan yang terus – menerus berusaha memisahkan.


Bersama hingga tiba waktu yang akan menentukan kapan kita harus berhenti berjuang.
Entah aku yang kurang memanfaatkan waktu atau memang waktu berjalan begitu cepatnya, sampai akhirnya tibalah saat kita diharuskan tuk mencoba berjalan menelusuri setapak demi setapak cerita kehidupan masing – masing.
Tidak lagi berdua. Tidak lagi ada kita.

Sesungguhnya kejanggalan terasa saat kamu mengucapkan “Ini mungkin saatnya kamu jalan dan aku juga jalan. Maaf kalau aku memang lemah, aku nggak kuat lagi.”
Rasanya seperti hanya aku yang menggebu – gebu untuk memperjuangkan kamu tapi kamu tak lagi ingin memperjuangkan aku. Memperjuangkan kita. Kecewa.

12-2-16-1. Tertera angka di personal bbm kamu.
“12 tanggal jadian kita, 2 kali aku ngecewain kamu, 16 hari ini dan cuma  1 bulan waktu kita :(“ itu jawaban kamu saat aku menanyakannya.

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Namun sesekali aku dan kamu seperti masih saling melemparkan perhatian di tengah – tengah upaya untuk membiasakan diri tak lagi saling menumbuhkan cinta.
“Aku akan menjaga bola kaca seperti aku menjaga kamu……….” Kata – kata ini begitu manis, membuatku mau tak mau menyunggingkan seulas senyum ketika aku sedang meneteskan air mata, entah itu tangisan yang keberapa kalinya.


Begitu juga saat masih kamu ucapkan “Get well soon my 12” saat aku sakit ataupun saat kamu tuliskan “Bola Kaca” menjadi bagian dari tweet-mu.
Begitu juga saat kamu ucapkan “Aku akan tetap pulang ke Jakarta untuk kamu………”
Tapi setelahnya kejanggalan demi kejanggalan seperti sengaja diperlihatkan untukku.

Seperti begitu amat sangat mudah untuk kamu bangkit berdiri dan terlihat baik – baik saja bila dibandingkan saat sebelumnya ketika kita berdua sama – sama TERJATUH, meneteskan air mata atas perbedaan yang tak menyenangkan ini.
Dengan agak sedikit curiga kutanyakan hal itu padamu dan kamu menjawab “Aku cuma nggak ingin nunjukkin kesedihanku.”

Juga saat kamu berkata, “Move on? It needs much time.”dan “Mungkin move on dari 12 ini akan sama sulitnya dengan 21.”
Aku masih mempercayai kamu.
Aku mencoba untuk tak membawa pikiranku bermain lebih jauh di zona yang tentunya akan mencekoki aku dengan efek negatif.

Aku tahu itu takkan ‘sehat’ untuk hubungan kita.
Berkali – kali kulihat kamu seperti sengaja membawa dirimu sendiri untuk mencari cerita cinta yang baru. 
Hanya dalam selang jeda waktu yang terlalu dekat dengan hari kita berpisah.
Seolah kamu lupa akan setiap kata demi kata yang t’lah kamu ucapkan.



Inikah caramu berdiri setelah sempat terjatuh?
Inikah caramu membuktikan janji?
Mungkinkah memang kamu sengaja melupakannya?
Ataukah semua hanya janji belaka?
Dan aku segera menyadari tentang satu hal. 
TERLUPAKAN ………………….



Aku dan kamu memang tak pernah mengucapkan selamat tinggal.
Hanya saja, perubahanmu seperti sebuah sugesti yang mengharuskan aku menyadari bahwa kita memang telah berpisah.

Segalanya bukan lagi tentang kebersamaan.
Segalanya bukan lagi tentang perjuangan kita.
Segalanya bukan lagi tentang “Aku Ingin Kamu” dan “Kamu Ingin Aku”.
Harusnya terbersit lebih awal di pikiranku bahwa cinta ada karena terbiasa, mungkinkah benar?
Dan kemudian cinta tak ada karena terbiasa terpisah, begitu?



Kemudian tanpa pernah kuminta, kamu menghilang. Perlahan.
Lalu muncul kembali. Menghilang, dan muncul lagi. Begitu terus – menerus.
Ketidakjelasan membuatku hilang arah, tak tahu harus melangkah maju atau tetap berhenti di persimpangan tempat di mana kita bisa mengenang masa lalu.
Entah apa maumu.



Kamu tau? Wanita selalu lebih hebat dalam menggunakan perasaannya.
Setiap kali kamu nampak begitu berbeda meski dalam hal sekecil apapun yang mungkin kasat mata dan mustahil bagimu tuk diketahui, tidak demikian dengan wanita. Tidak pula dengan aku.

Intuisiku yang tajam seperti diasah kembali, membuatku menerka – nerka.
Ini aku. Diriku. Aku yang paling tahu segalanya tentang diriku.
Cemburu bukanlah kebiasaanku.
Selalu merasa aneh setiap kali melihat apa yang kamu bilang “Kalau di sini memang gini pergaulannya.”

Berkali – kali menahan perasaan walau akhirnya meledak juga, kamu tetap anggap itu cemburu ketika kita memperdebatkannya. Baiklah aku mengalah. Mungkin aku yang tak bisa mengerti.



Tapi bukankah “Seorang laki – laki akan membuat kekasihnya cemburu dengan mendekati wanita yang lainnya. Dan seorang pria sejati akan membuat wanita lainnya cemburu karena kekasihnya?”
Aku membenarkan hal itu.





Dan aku pun sampai pada titik di mana logika berhasil mengambil alih pikiranku yang hampir kacau balau.
Rasanya seperti bermain teka – teki.
Berusaha memecahkan misteri.
Mengumpulkan clue dari setiap hal yang mulanya kusebut prasangka.

Aku mencoba menjabarkannya satu per satu.
Bahwa sesungguhnya kamu tak pernah benar – benar ingin memperjuangkan aku.
Tapi juga tak ingin kehilangan aku.
Agar kamu bisa kembali saat kamu tak bisa mendapatkan setiap siapa pun yang kamu ingini.


Aku merasa menjadi orang yang paling BODOH.
Bukankah sudah cukup perbedaan itu menorehkan luka di hatiku?
Mengapa harus kamu tambahkan dengan ini semua?
Pikiranku kalut. Cintaku seakan mati rasa.




Sebelum akhirnya aku berbicara pada diriku sendiri..........
"Bukankah yang terdekat selalu mempunyai kesempatan untuk menjadi yang paling menyakiti?”
"Bukankah semakin percaya memberikan peluang untuk terciptanya sebuah pengkhianatan?"
"Bukankah semakin cinta akan menambah peluang untuk membesarnya sebuah luka?"
"Dan bukankah perjuangan takkan ada artinya bila hanya salah satu yang berjuang, sendirian?"



Aku yang begitu terpaku dengan janji masa lalu.

Aku yang begitu percaya kita akan berdiri bersama – sama.

Aku yang begitu percaya saat kamu
mengucapkan 

“We’ll Never Walk Alone……..”







Aku yang begitu percaya kamu takkan pernah menyakitiku lebih dari sekedar karena perbedaan.
Aku yang begitu bodoh kurang cepat menyadari segala KEBOHONGAN yang kamu buat :)
Mungkinkah benar perbedaan bukanlah satu - satunya alasan kita tak lagi bersama?



Kamu pernah dan mengerti caranya mencintai seseorang dengan begitu dalam.
Namun, mungkin kamu belum pernah dicintai seseorang dengan begitu tulus, sehingga kamu tak mengerti.

Ketulusanku akhirnya terbayar dengan kebohonganmu.
Dengan ketidakpedulianmu. Dengan kepergianmu.
:”)


Kamu yang mengajarkan aku tentang  BOLA KACA.
Namun inikah caramu menjaga BOLA KACA? …………………
Memecahkan bola kaca dengan tanganmu sendiri?

Membencimu? Tidak.
Menyesalimu? Tidak.
Kehilangan orang yang dicintai terdengar lebih baik dibandingkan kehilangan orang yang mencintai kita, begitu kata mereka - mereka di luar sana.

Mungkin sejak awal kita memang telah berbeda.
Berbeda dalam hal mewujudkan ketika mencintai.
Berbeda dalam hal menghargai ketika dicintai.

Aku tak memintamu percaya, tapi kamu tentu selalu bisa merasakan ketulusanku saat itu.
Dan aku takkan mempertanyakan ketulusanmu saat kamu melakukan hal - hal tuk membuatku tertawa.
Juga takkan menghapus memori ketika kamu memberikan hal - hal manis untukku.
Juga ketika kita menangis bersama.

Walau berada dalam tempat berbeda dan jarak yang jauh, kita bisa merasakan kesedihan ketika pertama kali perbedaan itu datang memisahkan.

Ketika kamu dan aku memperjuangkan KITA.
Sebab hanya saat itulah aku yakin kamu tak sedang berpura - pura.
Sebab menghapusnya akan sama dengan menghancurkan satu - satunya memori yang layak untuk dijadikan kenangan.



Real eyes realize real lies
Kebohonganmu menyatukan kembali akal sehatku yang sempat terburai.
Menunggu kejelasan darimu? Membuang waktuku percuma.
Ketidakpedulianmu membuatku tersadar.
Mungkin terlalu banyak orang yang kuabaikan di luar sana hanya karena memberikan cinta untuk orang yang tak menghargai ketika dicintai.
Karena aku terlalu sibuk memikirkan orang yang sama sekali tak pernah memikirkanku.
Karena aku masih terlalu perduli tuk mengingat orang yang sama sekali telah menghilangkan bayanganku dari ingatannya.




Kepergianmu membuat mataku terbuka.

Tanpamu hidupku terasa jauh lebih baik. 

Berdiri di atas kakiku sendiri membuatku jauh lebih kuat. 

Sama seperti ketika kamu belum hadir mengisi buku kehidupanku.






Dan cukup sekali aku menyangkal apa yang kusebut 

KATA HATI.

Ketika ia berbisik menyuruhku berjalan pergi meninggalkanmu ............
Dan segalanya tentangmu. :')

______________________________________________________________________________




Pernah ku tau apa yang ku sebut takdir.








Pernah ku genggam apa yang ku sebut  cinta.








Pernah ku berharap tentang apa yang ku sebut kita.








Pernah ku dapatkan apa yang ku sebut

 penolakan.








Pernah ku miliki apa yang ku sebut harapan.












Pernah ku lakukan apa yang ku sebut 

perjuangan.










Pernah ku dengarkan apa yang ku sebut janji.







Pernah ku rasakan apa yang ku sebut terjatuh dan 

terlupakan.

Pernah ku menjadi apa yang ku sebut bodoh.


Pernah ku percaya apa yang ku sebut 

kebohongan.





Pernah dan cukup sekali ku abaikan apa yang ku sebut 

kata hati.

__________________________________________________________________________
Rasa sakit membuatku berdiri lebih tegar.

Memberiku semangat tuk melahirkan karya yang indah.

Terima kasih t'lah menjadi sebuah inspirasi.


Kita memang tak pernah mengucapkan selamat tinggal.

Dan ini adalah saatnya aku mengucapkannya untuk kamu.

Kupecahkan Bola Kaca berukiran namamu  ......
___________________________________________________________________________



Selamat tinggalBola Kaca :"D

Sudahkah kuucapkan dengan cara yang paling manis?


__________________________________________________________________________



"Love story doesn't always have a happy ending. 
But there's always a precious lesson behind."



Teruntuk Kamu, Sahabat ♥


Aku percaya akan segala apa yang Tuhan rancangkan untuk hidupku.
Aku berpegang pada segala apa yang ditakdirkan Tuhan untuk hidupku.
Aku percaya akan tuntunan Tuhan untuk setiap langkahku.
Aku percaya pada segala kesulitan yang Dia beri akan membawaku kepada sesuatu yang jauh lebih indah.
Aku percaya akan setiap kesedihan yang Dia limpahkan akan tergantikan dengan berjuta – juta kali lipat tawa serta kebahagiaan tak berhingga.
Aku percaya untuk setiap kehilangan yang menyakitkan , Tuhan akan mendatangkan yang membawa sukacita.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

Teruntuk kamu.
Masih teringat jelas dalam benakku bagaimana saat itu kita hanyalah dua orang yang tak saling mengenal, kemudian seperti diharuskan mengenal satu sama lain karena kita berada dalam kelas yang sama.
Juga saat kita seperti diberi kesempatan untuk mengobrol lebih banyak lagi saat kita berada di kelompok kerja yang sama di awal perkuliahan kita.




Teruntuk kamu.
Kita memang belum berteman baik. Tapi sesekali berbicara denganmu, aku mempunyai kesan yang baik terhadap kamu.




Betapa bersyukurnya aku Tuhan memberiku kelebihan untuk membaca serta menyadari sifat orang lain melalui sebuah intuisi yang mungkin lebih cepat dibandingkan dengan yang lainnya.
Dan kamu termasuk yang baik. Menyenangkan.

Teruntuk kamu.
Kita memang sudah berteman. Sesekali waktu kita bertukar cerita walau hanya melalui pesan, bukan bercerita secara langsung.
Saat itu kesanku untukmu, kamu semakin menyenangkan.
Kamu membuatku merasa bahwa setidaknya ada seseorang yang memahamiku di saat aku begitu sulit percaya dengan apa yang disebut pertemanan.

Teruntuk kamu.
Maaf aku tak mampu mengingat setiap detail perbincangan kita.
Yang aku ingat saat itu matamu sembab, seperti habis menangisi sesuatu.
Kemudian kamu bercerita. Dan aku mendengarkan.

Teruntuk kamu.
Semakin hari semakin aku menyadari, kamu berbeda dari yang lainnya.
Tuhan seperti menunjukmu untuk menjadi bagian dari perjalanan hidupku.
Apa kamu merasakannya juga?
Kuharap begitu.

Teruntuk kamu.
Setelahnya, kita semakin dekat. Entah apa yang menambah panjangnya tali pertemanan kita.
Hingga akhirnya aku seperti menaikkan dirimu menjadi seorang sahabat.
Walau tak pernah terpikir bahwa Tuhan akan memberikan aku seorang sahabat.
Percayakah kamu, hanya sedikit sahabat yang aku punya?
Percayakah kamu hanya sedikit saja orang – orang yang bisa kupercaya?
Percayakah kamu termasuk salah satu yang terpenting dalam mengisi lembaran di buku kehidupanku?

Teruntuk kamu.
Hanya kamu yang membiarkan aku memilih dan berkata “Kamu tau apa yang terbaik untuk dirimu sendiri.  Kamu tau segala resiko untuk setiap pilihan yang kamu ambil” di saat orang lain berkata “Jangan”.

Teruntuk kamu.
Kamu selalu menjadi seorang yang menemaniku dalam mencari suka, menghadapi duka.
Aku menyukai setiap kata – kata yang terucap darimu untuk menguatkan aku di saat aku terjatuh.
Aku menyukai setiap kata – kata yang terlontar dari bibirku sendiri untuk menopang kamu di saat kamu rapuh.

Teruntuk kamu.
Kamu ikut bahagia melihat aku bahagia.
Kamu menangis saat aku menangis.
Kamu menderita setiap mengetahui kesulitanku.
Begitu pun aku terhadapmu.

Teruntuk kamu.
Aku menangis saat kamu berkata “Tuhan Yesus juga baik menciptakan kamu yang bisa MENGUATKAN banyak orang, bahkan saat kamu sendiri juga merasakan hal yang sama, butuh dikuatkan.”

Teruntuk kamu.
Siang ini aku merasa seperti sedang menjadi kamu.
Begitu ikut merasakan kesesakan yang harus kamu hadapi.
Tak ada yang dapat kulakukan selain mendengarkan kamu, bukan?
Membantumu berdiri, menopangmu agar kamu tak terjatuh begitu dalam.


Teruntuk kamu.
Aku berusaha menguatkan kamu dengan memberitahukan kamu tentang ini:
“Salah satu hal yang membuat aku begitu kuat dan lebih kuat adalah karena aku mempunyai kamu, sahabat baik yang juga kuat di mataku.”
Bukankah saling memberi kekuatan sudah seperti sebuah siklus yang otomatis akan kita lakukan bila salah satu di antara kita merasa rapuh?

Teruntuk kamu.
Siang ini aku menangis mendengarkan voice note yang kamu kirimkan untukku.

Oct 14, 2012 | 10:48 | VN71d82b35
“Jes, makasih ya buat kata – kata yang nguatin gue itu. Makasih untuk lo yang selalu ada untuk back-up gue di saat gue udah bener – bener ngerasa nggak kuat.
Yang pertama Tuhan Yesus, yang selalu tau gimana perasaan gue sekarang. Dan yang kedua itu lo, Jes, yang paling tau apa yang gue rasain., apa yang gue rasa tuh gue udah nggak bisa lagi ngelewatinnya.”
 
Teruntuk kamu.
Bahkan saat aku menuliskan ini, aku menangis tanpa mau untuk menghentikan air mata yang terus mengalir ini.
Aku merasa pantas untuk terharu dengan apa yang kamu katakan.

Teruntuk kamu.
Terima kasih karena kamu membuat aku begitu berharga.
Terima kasih karena kamu membuat aku merasa begitu berguna untukmu.
Terima kasih untuk semua suka dan duka yang telah kita lewati bersama – sama.
Terima kasih karena kamu selalu menjadi kekuatan untuk aku setiap kali terjatuh.
Terima kasih karena aku diijinkan untuk menjadi kekuatanmu juga setiap kali kamu terjatuh.
Terima kasih untuk persahabatan kita.

Teruntuk kamu.
Terima kasih karena dari kisah kita aku bisa menuliskannya ke dalam suatu tulisan yang tak seberapa ini.
Tapi aku ingin kamu tau.
Aku begitu menyayangi apa yang Tuhan beri untukku, termasuk persahabatan yang sudah Ia rancangkan untuk kita.

Teruntuk kamu.
Aku berharap persahabatan kita takkan pernah mati. Dan akan selalu ada. Hingga tiba saatnya nanti kita menutup mata.

Teruntuk kamu.
Kekuatanku, inspirasiku.

Teruntuk kamu.
Sahabat terbaik yang pernah aku punya.

Teruntuk kamu.


Maria Priscilla 






With Love,

Jessica Patricia. ♥

Back to Top