Tuhan....
Maaf, karena aku begitu bodoh.
Baru terpikirkan dalam benak tuk menuliskan surat ini untuk-Mu. Seharusnya ini
adalah hal ketiga yang aku lakukan setelah berdoa dan membaca Injil demi
menenangkan hatiku. Dan aku tahu Engkau melihatku menulis surat ini dari Atas
sana. Kau duduk di singgasana-Mu,
memperhatikan aku menggoreskan kata – demi kata dalam lembar kertas kosong
dengan penuh rasa sesak yang amat sangat.
Tuhan....
Aku berpikir, mengapa aku
diciptakan tuk menjadi seorang pendengar, bukan pembicara. Cara bicaraku buruk.
Tidak, tidak... Aku tak suka mengumpat. Maksudku, aku tak bisa mengatakan apa
yang kurasa dengan baik. Aku kesulitan.
Rasanya ingin sekali mengeluarkan
seluruh emosi yang selalu kupendam di dada. Dada ini terasa penuh, nyeri,
sesak. Ruang dalam dadaku kian lama kian menyempit karena terlalu banyak
kusimpan rasa yang tak pernah bisa kulukiskan. Terlalu burukkah ini semua?
Kurasa ya.
Bahkan aku meng-iya-kan setelah
kupikir tak ada lagi tempat tersisa di sana. Juga kelelahan begitu terasa
hampir di setiap helaan napasku. Bahkan aku tak berani mengambil napas panjang –
panjang karena akan menimbulkan nyeri.
Setiap malam tidurku pun gelisah.
Aku membolak – balikan tubuhku ke samping kiri dan kanan. Namun rasanya tetap
sakit. Tidur dengan posisi terlentang pun hanya akan memunculkan sugesti yang
buruk untukku. Berkali – kali muncul bayangan
akan batu – batu besar yang ditimpakan dari atas dan menindih tubuhku. Pedih.
Namun, aku tak dapat mengeluarkan suara. Jangankan berteriak, berbisik lirih
saja pun aku tak mampu. Dan sebagai gantinya, air mengalir, menggenangi pelupuk
mataku. Sebagai tanda aku kesakitan.
Tuhan....
Aku memang tak terlalu ingin
membiarkan orang lain tahu akan isi hatiku. Tapi, sesekali akan ada masa di
mana aku mau orang – orang terdekat yang aku cintai, yang kehadirannya
menciptakan warna dalam hidupku, untuk tahu dan mengerti tentang perasaanku.
Namun, lagi – lagi kesulitanku untuk mengutarakan selalu mengacaukan segalanya.
Mereka seringkali salah paham terhadapku. Mungkin persepsi yang lebih
mendominasi isi kepala mereka dibandingkan keinginan yang lebih mendalam untuk
mencerna kata demi kata yang terlontar dari padaku. Kalau sudah begitu, selalu timbul
penyesalan dalam diriku, “Mengapa aku
mengatakannya? Seharusnya aku diam.”
Tuhan....
Kemarin (mungkin) adalah salah
satu dari sekian banyak hari terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku. Sebuah
pertengkaran hebat terjadi antara aku dengan seseorang yang masuk dalam daftar
orang – orang yang kusayangi. Sesungguhnya aku hanya ingin mencoba (lagi)
memberitahukan perasaan sedih dan kecewa milikku. Kupikir dengan mengatakan
kepadanya, segala sesuatu yang salah di antara kami dapat diperbaiki. Kukira
hal – hal yang lebih manis akan tercipta setelahnya.
Tetapi, perkiraanku meleset bahkan melenceng jauh. Ternyata ia pun sedang berada dalam kondisi yang buruk.
Lagi – lagi sesal dalam benak muncul seperti ingin menampar aku dan seolah
berkata, “Akan lebih baik jika kamu diam,
tahu?!”
Tuhan.... Salahkah aku bila kurasa lelah
untuk menampung segala yang sesak ini dalam diam?
Aku telah begitu lama memendam,
mungkin hingga semuanya membusuk dalam hati. Bahkan yang membuatku tercengang
adalah caci dan maki keluar dari dirinya yang terlampau emosi. Engkau Yang Maha
Tahu tentangku ya Tuhan. Kau yang paling mengetahui seberapa besar emosi dan amarah,
kesedihan dan kelelahan, yang mungkin telah berada di puncak, jauh dari apa
yang orang lain rasakan. Namun, seperti biasa Kau selalu menopangku. Kau
membantuku tuk meredamnya. Kau menurunkan emosiku demi menenangkan dirinya yang
kalap. Aku tahu aku bisa melakukan ini karena diri-Mu :’)
Tuhan....
Hari ini pun lelah dan gelisahku
tak kunjung hilang, tanpa dapat kugambarkan dengan jelas apa penyebabnya. Hari
ini seseorang yang lain tengah dilanda amarah dan kesedihan. Saat kutanya
mengapa, ia menceritakan sedikit namun terlihat jelas ada begitu banyak kemarahan dan
kekecewaan dalam setiap cacian dan makian yang terlontar.
Tuhan....
Aku tak marah pada mereka yang
meluapkan emosi padaku. Hanya saja itu membuatku berpikir tentang beberapa hal.
Semudah itukah mengeluarkan emosi
lewat caci dan maki? Aku ingin sekali melakukan hal yang sama. Namun sayangnya
aku tak pernah bisa. Aku lebih memilih
untuk membiarkannya mengendap. Hingga rasanya mau meledak. Walau sebenarnya
ingin ku berlari ke tengah lapangan rumput hijau yang luas kemudian berteriak
sekencang – kencangnya demi melegakan diriku.
Apa memang aku tercipta sebagai
pendengar yang baik? Termasuk untuk menjadi tempat orang meluapkan emosi?
Termasuk caci dan maki? Begitukah?
Tuhan...
Kutuliskan surat ini sambil
kudengarkan lagu kesayanganku. Yiruma – Kiss The Rain.
Kau mendengarnya juga, bukan?
Lagu ini begitu hebat melengkapi
suasana pilu dan sendu milikku.
Maafkan karena aku menuliskan
surat ini hanya di atas selembar kertas putih biasa.
Bukan kertas berwarna – warni dengan
gambar yang indah.
Juga tulisanku yang kian
semrawut, sama halnya dengan hatiku yang berantakan.
Juga karena air mata yang menetes
melunturkan coretan tinta dari beberapa kata yang tertera di sini.
Tuhan....
Kumohon jangan jauh dariku.
Jangan tinggalkan aku sendirian.
Aku takut! Aku lelah! Aku sesak!
Hanya Kau tempat ternyamanku
untuk bercerita.
Hanya Kau yang benar – benar memahamiku,
bahkan ketika aku belum membisikkannya pada-Mu.
Hanya Kau sumber kekuatanku di
saat sekelilingku begitu ingin melelahkanku.
Hanya Kau sumber cahayaku di saat
gelap menyelimuti dunia di sekitarku.
PELUK AKU TUHAN! PELUK AKU ERAT! :’(