February 2013

A Letter To God #1

Tuhan....

Maaf, karena aku begitu bodoh. Baru terpikirkan dalam benak tuk menuliskan surat ini untuk-Mu. Seharusnya ini adalah hal ketiga yang aku lakukan setelah berdoa dan membaca Injil demi menenangkan hatiku. Dan aku tahu Engkau melihatku menulis surat ini dari Atas sana.  Kau duduk di singgasana-Mu, memperhatikan aku menggoreskan kata – demi kata dalam lembar kertas kosong dengan penuh rasa sesak yang amat sangat.
Tuhan....
Aku berpikir, mengapa aku diciptakan tuk menjadi seorang pendengar, bukan pembicara. Cara bicaraku buruk. Tidak, tidak... Aku tak suka mengumpat. Maksudku, aku tak bisa mengatakan apa yang kurasa dengan baik. Aku kesulitan.
Rasanya ingin sekali mengeluarkan seluruh emosi yang selalu kupendam di dada. Dada ini terasa penuh, nyeri, sesak. Ruang dalam dadaku kian lama kian menyempit karena terlalu banyak kusimpan rasa yang tak pernah bisa kulukiskan. Terlalu burukkah ini semua? Kurasa ya.
Bahkan aku meng-iya-kan setelah kupikir tak ada lagi tempat tersisa di sana. Juga kelelahan begitu terasa hampir di setiap helaan napasku. Bahkan aku tak berani mengambil napas panjang – panjang karena akan menimbulkan nyeri.
Setiap malam tidurku pun gelisah. Aku membolak – balikan tubuhku ke samping kiri dan kanan. Namun rasanya tetap sakit. Tidur dengan posisi terlentang pun hanya akan memunculkan sugesti yang buruk untukku. Berkali – kali  muncul bayangan akan batu – batu besar yang ditimpakan dari atas dan menindih tubuhku. Pedih. Namun, aku tak dapat mengeluarkan suara. Jangankan berteriak, berbisik lirih saja pun aku tak mampu. Dan sebagai gantinya, air mengalir, menggenangi pelupuk mataku. Sebagai tanda aku kesakitan.
Tuhan....
Aku memang tak terlalu ingin membiarkan orang lain tahu akan isi hatiku. Tapi, sesekali akan ada masa di mana aku mau orang – orang terdekat yang aku cintai, yang kehadirannya menciptakan warna dalam hidupku, untuk tahu dan mengerti tentang perasaanku. Namun, lagi – lagi kesulitanku untuk mengutarakan selalu mengacaukan segalanya. Mereka seringkali salah paham terhadapku. Mungkin persepsi yang lebih mendominasi isi kepala mereka dibandingkan keinginan yang lebih mendalam untuk mencerna kata demi kata yang terlontar dari padaku. Kalau sudah begitu, selalu timbul penyesalan dalam diriku, “Mengapa aku mengatakannya? Seharusnya aku diam.”

Tuhan....
Kemarin (mungkin) adalah salah satu dari sekian banyak hari terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku. Sebuah pertengkaran hebat terjadi antara aku dengan seseorang yang masuk dalam daftar orang – orang yang kusayangi. Sesungguhnya aku hanya ingin mencoba (lagi) memberitahukan perasaan sedih dan kecewa milikku. Kupikir dengan mengatakan kepadanya, segala sesuatu yang salah di antara kami dapat diperbaiki. Kukira hal – hal yang lebih manis akan tercipta setelahnya.
Tetapi, perkiraanku meleset bahkan melenceng jauh. Ternyata ia pun sedang berada dalam kondisi yang buruk. Lagi – lagi sesal dalam benak muncul seperti ingin menampar aku dan seolah berkata, “Akan lebih baik jika kamu diam, tahu?!”
Tuhan.... Salahkah aku bila kurasa lelah untuk menampung segala yang sesak ini dalam diam?
Aku telah begitu lama memendam, mungkin hingga semuanya membusuk dalam hati. Bahkan yang membuatku tercengang adalah caci dan maki keluar dari dirinya yang terlampau emosi. Engkau Yang Maha Tahu tentangku ya Tuhan. Kau yang paling mengetahui seberapa besar emosi dan amarah, kesedihan dan kelelahan, yang mungkin telah berada di puncak, jauh dari apa yang orang lain rasakan. Namun, seperti biasa Kau selalu menopangku. Kau membantuku tuk meredamnya. Kau menurunkan emosiku demi menenangkan dirinya yang kalap. Aku tahu aku bisa melakukan ini karena diri-Mu :’)
Tuhan....
Hari ini pun lelah dan gelisahku tak kunjung hilang, tanpa dapat kugambarkan dengan jelas apa penyebabnya. Hari ini seseorang yang lain tengah dilanda amarah dan kesedihan. Saat kutanya mengapa, ia menceritakan sedikit namun terlihat  jelas ada begitu banyak kemarahan dan kekecewaan dalam setiap cacian dan makian yang terlontar.

Tuhan....
Aku tak marah pada mereka yang meluapkan emosi padaku. Hanya saja itu membuatku berpikir tentang beberapa hal.
Semudah itukah mengeluarkan emosi lewat caci dan maki? Aku ingin sekali melakukan hal yang sama. Namun sayangnya aku tak pernah bisa.  Aku lebih memilih untuk membiarkannya mengendap. Hingga rasanya mau meledak. Walau sebenarnya ingin ku berlari ke tengah lapangan rumput hijau yang luas kemudian berteriak sekencang – kencangnya demi melegakan diriku.
Apa memang aku tercipta sebagai pendengar yang baik? Termasuk untuk menjadi tempat orang meluapkan emosi? Termasuk caci dan maki? Begitukah?
 
Tuhan...
Kutuliskan surat ini sambil kudengarkan lagu kesayanganku. Yiruma – Kiss The Rain.
Kau mendengarnya juga, bukan?
Lagu ini begitu hebat melengkapi suasana pilu dan sendu milikku.
Maafkan karena aku menuliskan surat ini hanya di atas selembar kertas putih biasa.
Bukan kertas berwarna – warni dengan gambar yang indah.
Juga tulisanku yang kian semrawut, sama halnya dengan hatiku yang berantakan.
Juga karena air mata yang menetes melunturkan coretan tinta dari beberapa kata yang tertera di sini.

Tuhan....
Kumohon jangan jauh dariku.
Jangan tinggalkan aku sendirian.
Aku takut! Aku lelah! Aku sesak!
Hanya Kau tempat ternyamanku untuk bercerita.
Hanya Kau yang benar – benar memahamiku, bahkan ketika aku belum membisikkannya pada-Mu.
Hanya Kau sumber kekuatanku di saat sekelilingku begitu ingin melelahkanku.
Hanya Kau sumber cahayaku di saat gelap menyelimuti dunia di sekitarku.
PELUK AKU TUHAN! PELUK AKU ERAT! :’(

Goresan Angan dan Semu


Mungkin aku adalah seorang pemimpi.
Yang selalu kalah oleh kenyataan.
Tenggelam dalam buai angan yang aku ciptakan sendiri.
Imajinasi yang tinggi kuleburkan demi melawan ratapan menyakitkan yang tak bisa kukiaskan.
Malah simpulan senyum palsu yang selalu kuperlihatkan.
Membentuk sebuah 1oksimoron dalam hatiku. Perih.

Aku telah sejak dulu tau hidup tidaklah sama dengan cerita dongeng.
Yang terus – terusan menceritakan pertemuan pria dan wanita.
Menghadapi segala rintangan yang menghadang di depan. Berdua.
Gurat – gurat kesedihan yang sesekali muncul, tetap takkan mengubah cerita yang mudah sekali ditebak.
Dan lalu siratan bahagia pun akhirnya tampak juga.
Aku sering mengkhayalkan sesuatu yang kutahu itu semu.
Mungkin itu nyata untuk orang lain. Entahlah.
Namun ku tahu itu bukanlah milikku. 
Kubayangkan dua insan menyatu padu atas nama cinta.
Melangkah beriringan menatap lurus ke depan bersama – sama.
Memanfaatkan keterbatasan waktu yang ada untuk berbincang – bincang tentang begitu banyak hal.
Mencari – cari celah sekecil mungkin, takut bila ada sesuatu yang tertinggal untuk dipahami antara satu dengan yang lainnya.
Itu saja cukup. Ya cukup.....

Untukku rasanya selalu menyenangkan ketika waktu dihabiskan untuk membicarakan segala hal dengan orang yang kita cintai.
Yang membuatnya terasa lengkap mungkin adalah ketika tangannya meraih tangan milikku untuk digenggam.
Ketika sesekali tangannya menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
Ketika sesekali matanya bergantian menatap mataku, kemudian bibirku yang tengah mengucap.
Ketika akhirnya ia menarik kepalaku untuk bersandar di dadanya.
Ketika ia memelukku selagi gilirannya untuk mengucap memberiku pengertian.
Ketika ia kembali menatap wajahku, mencium hangat keningku setelah selesai berbicara.
Dan kemudian ia mengakhirinya dengan kata, “Kamu tahu? Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.” Lalu kembali memelukku erat seakan aku kedinginan dan tengah membutuhkan kehangatan.
Mungkin aku adalah seorang pemimpi.
Yang selalu kalah oleh kenyataan.
Waktu seakan tak pernah berpihak kepada kita.
Atau aku yang menyia – nyiakan waktu yang sempat ada sebelumnya?
Atau kamu yang tak pernah menyisakan sebagian kecil waktumu untukku? Untuk kita?
Dalam setiap akhir cerita aku selalu diam tak bergerak, tak berbicara.
Seperti dirasa aku tak butuh menuturkan kata hanya oleh karena aku adalah pendengar yang baik.
Ya.... Aku pendengar yang baik dan pembicara yang buruk.
Namun maukah kamu melapangkan diri serta menyempatkan waktu untuk ini semua?
Supaya kesalahpahaman tak semakin meluap dan emosi tak membuncah ruah.
Karena aku pun di sini telah kelelahan. Memendam apa yang seharusnya tak dipendam.
Namun selalu terhalang oleh waktu dan keadaan yang tak memungkinkanku tuk bicara.
Tidakkah kamu merasakan penat? Memikirkan yang seharusnya telah terselesaikan segera.
Namun selalu terhalang ketersediaan waktumu untuk kita yang hampir redup.
Mungkin ini yang dimaksud dengan "Mempertahankan pilihan takkan semudah ketika membuat sebuah pilihan."
Akan selalu ada rintangan di setiap pilihan yang kau ambil. 
Dan di saat itulah kamu akan dihadapkan kembali dengan pilihan yang lain.
Tetap tinggal dalam pilihan dan mencoba memperbaikinya atau keluar dari pilihan dan mencari sesuatu yang lain.

Aku bertahan untuk tidak meneteskan air mata.
Begitu pula saat sesekali keadaan membuatku membandingkan segala yang ada dengan masa lalu.
Walaupun pedih yang mengendap telah begitu dalam, kucoba tuk berpikir, “Ah lemah sekali aku kalau menangis.” agar tak terkesan adanya 2melodrama.
Meski itu artinya harus tercipta sebuah 3esklamasaio untuk menguatkan hati yang sebenarnya pengap.
Aku, kamu, dan waktu. Sesederhana itu anganku.  Anganku yang (mungkin) benar semu.
______________________________________________________________________________
Footnote:
1. Oksimoron: Salah satu majas yang memperlihatkan sebuah pertentangan.
2. Melodrama: Permainan drama atau sandiwara yang mendayu-dayu serta mengharukan.
3. Esklamasaio: Majas yang menggunakan kata-kata penyerta untuk penegasan. Dalam cerita ini ditunjukkan dalam kalimat, "Ah, lemah sekali aku kalau menangis."

Back to Top