Goresan Angan dan Semu


Mungkin aku adalah seorang pemimpi.
Yang selalu kalah oleh kenyataan.
Tenggelam dalam buai angan yang aku ciptakan sendiri.
Imajinasi yang tinggi kuleburkan demi melawan ratapan menyakitkan yang tak bisa kukiaskan.
Malah simpulan senyum palsu yang selalu kuperlihatkan.
Membentuk sebuah 1oksimoron dalam hatiku. Perih.

Aku telah sejak dulu tau hidup tidaklah sama dengan cerita dongeng.
Yang terus – terusan menceritakan pertemuan pria dan wanita.
Menghadapi segala rintangan yang menghadang di depan. Berdua.
Gurat – gurat kesedihan yang sesekali muncul, tetap takkan mengubah cerita yang mudah sekali ditebak.
Dan lalu siratan bahagia pun akhirnya tampak juga.
Aku sering mengkhayalkan sesuatu yang kutahu itu semu.
Mungkin itu nyata untuk orang lain. Entahlah.
Namun ku tahu itu bukanlah milikku. 
Kubayangkan dua insan menyatu padu atas nama cinta.
Melangkah beriringan menatap lurus ke depan bersama – sama.
Memanfaatkan keterbatasan waktu yang ada untuk berbincang – bincang tentang begitu banyak hal.
Mencari – cari celah sekecil mungkin, takut bila ada sesuatu yang tertinggal untuk dipahami antara satu dengan yang lainnya.
Itu saja cukup. Ya cukup.....

Untukku rasanya selalu menyenangkan ketika waktu dihabiskan untuk membicarakan segala hal dengan orang yang kita cintai.
Yang membuatnya terasa lengkap mungkin adalah ketika tangannya meraih tangan milikku untuk digenggam.
Ketika sesekali tangannya menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
Ketika sesekali matanya bergantian menatap mataku, kemudian bibirku yang tengah mengucap.
Ketika akhirnya ia menarik kepalaku untuk bersandar di dadanya.
Ketika ia memelukku selagi gilirannya untuk mengucap memberiku pengertian.
Ketika ia kembali menatap wajahku, mencium hangat keningku setelah selesai berbicara.
Dan kemudian ia mengakhirinya dengan kata, “Kamu tahu? Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.” Lalu kembali memelukku erat seakan aku kedinginan dan tengah membutuhkan kehangatan.
Mungkin aku adalah seorang pemimpi.
Yang selalu kalah oleh kenyataan.
Waktu seakan tak pernah berpihak kepada kita.
Atau aku yang menyia – nyiakan waktu yang sempat ada sebelumnya?
Atau kamu yang tak pernah menyisakan sebagian kecil waktumu untukku? Untuk kita?
Dalam setiap akhir cerita aku selalu diam tak bergerak, tak berbicara.
Seperti dirasa aku tak butuh menuturkan kata hanya oleh karena aku adalah pendengar yang baik.
Ya.... Aku pendengar yang baik dan pembicara yang buruk.
Namun maukah kamu melapangkan diri serta menyempatkan waktu untuk ini semua?
Supaya kesalahpahaman tak semakin meluap dan emosi tak membuncah ruah.
Karena aku pun di sini telah kelelahan. Memendam apa yang seharusnya tak dipendam.
Namun selalu terhalang oleh waktu dan keadaan yang tak memungkinkanku tuk bicara.
Tidakkah kamu merasakan penat? Memikirkan yang seharusnya telah terselesaikan segera.
Namun selalu terhalang ketersediaan waktumu untuk kita yang hampir redup.
Mungkin ini yang dimaksud dengan "Mempertahankan pilihan takkan semudah ketika membuat sebuah pilihan."
Akan selalu ada rintangan di setiap pilihan yang kau ambil. 
Dan di saat itulah kamu akan dihadapkan kembali dengan pilihan yang lain.
Tetap tinggal dalam pilihan dan mencoba memperbaikinya atau keluar dari pilihan dan mencari sesuatu yang lain.

Aku bertahan untuk tidak meneteskan air mata.
Begitu pula saat sesekali keadaan membuatku membandingkan segala yang ada dengan masa lalu.
Walaupun pedih yang mengendap telah begitu dalam, kucoba tuk berpikir, “Ah lemah sekali aku kalau menangis.” agar tak terkesan adanya 2melodrama.
Meski itu artinya harus tercipta sebuah 3esklamasaio untuk menguatkan hati yang sebenarnya pengap.
Aku, kamu, dan waktu. Sesederhana itu anganku.  Anganku yang (mungkin) benar semu.
______________________________________________________________________________
Footnote:
1. Oksimoron: Salah satu majas yang memperlihatkan sebuah pertentangan.
2. Melodrama: Permainan drama atau sandiwara yang mendayu-dayu serta mengharukan.
3. Esklamasaio: Majas yang menggunakan kata-kata penyerta untuk penegasan. Dalam cerita ini ditunjukkan dalam kalimat, "Ah, lemah sekali aku kalau menangis."

Back to Top