_____________________________________________________________________________________
Hari ke-1, April 27th
2013.
Kita berakhir.
Hari Ke-2, April 28th
2013.
Perasaanku masih
terbebani rindu dengan kamu. Dan aku terdiam sejenak waktu kutahu kamu
menghapus aku dari twitter-mu.
Beberapa saat kemudian
aku teringat waktu kamu melakukan hal yang sama pada waktu kita bertengkar.
“Aku sakit baca timeline kamu….” begitu katamu. Dan mungkin kali
ini alasannya masih sama. Juga karena kamu belum bisa menerima perpisahan kita.
Begitu pun aku.
Rasanya sungguh berat
karena aku harus merasakan kembali sakit akibat berakhirnya aku dan kamu. Lelah
sekali membayangkan aku harus memulai sesuatu dari awal lagi.
Hari Ke-3, April 29th
2013.
Aku masih mencari kamu.
Sempat kukirimkan pesan singkat kepadamu, namun tak ada balasan hingga pada
hari ke-4 pesan darimu sampai untukku.
“Doain aja semoga bisa baik – baik. Memang lagi broke dan nggak ada
pulsa,” katamu.
Hari ke-4, April 30th
2013.
Kupikir akan lebih baik
untukku menikmati rasa sakit ini dengan melihat kamu tetap berada di dalam
catatan kontak milikku, sementara aku hanya perlu membiasakan diri tidak lagi
berhubungan dengan kamu. Namun, ternyata pemikiran kita berbeda.
“Aku tak bisa menerima
keadaan seperti ini, sampai nanti, sampai saat yang aku tak tahu pasti, tolong
jangan hubungi aku bila tak ada sesuatu yang kamu ingin bicarakan.” Kemudian
kamu menghapus aku (lagi) dari kontakmu.
Hari ke-5, May 1st
2013.
Kutemukan sebuah
panggilan tak terjawab darimu.
Hari ke-6, May 2nd
2013.
Kembali kamu
menghubungi aku, namun sayang aku tak sempat mengangkatnya. Meski begitu, kita
sempat saling mengirimkan pesan singkat.
Hari ke-7, May 3rd
2013.
Entah harus kusebut
hari terburuk atau hari terbaik untuk aku memulai awal yang baru tanpa harus
terbayang – bayang dengan masa lalu berisi kenangan akan kita.
Sesungguhnya tak ada seorang
pun yang menginginkan perpisahan atas segala yang telah dipersatukan. Begitu
pun aku dan kamu. Yang sempat merengkuh kebersamaan.
Yang masih saja tak
kumengerti adalah kamu yang tetap bertahan dalam ego tanpa mau menyingkirkannya
sejenak untuk berpikir, “Apa sajakah sesuatu yang salah yang menyebabkan
segalanya berakhir?”
Kamu tahu? Rasa senang
sempat menyelimuti diriku saat kamu menghubungi aku kembali. Sama seperti yang
(pernah) kamu rasakan.
Namun, hal yang
membuatku bertanya – tanya adalah mengapa kamu masih saja mengharapkan kata
maaf keluar dari bibirku? Hanya itukah inginmu? Bukan waktukah yang kau butuhkan?
Bukan perbincangan penuh penjelasankah yang kamu harapkan?
Sedari awal masalah
kita memang hanya tentang waktu. Bahkan di saat terakhir seperti ini,
memaksakan diri tuk menyediakan waktu sedikit pun tak pernah terpikirkan.
Meskipun kita membutuhkannya hal itu tetap tak pernah terjadi. :’)
Bukan…. Aku bukan
keberatan untuk mengucapkan maaf. Aku pun memang manusia yang tak sempurna.
Yang mungkin saja tanpa kusadari kamu pernah terluka karena aku.
Hanya saja, tak pernahkah
terbersit dalam benakmu atas perasaan termasuk luka yang aku terima karenamu?
Yang sebenarnya tersakiti adalah mereka yang selama ini memperlihatkan diri baik - baik saja. :)
Ada begitu banyak kata
keluar dari bibirmu yang menyakiti perasaanku, namun kucoba tuk melupakannya.
Ada begitu banyak hal
yang kamu lakukan yang mengecewakan hatiku, namun kucoba tuk memakluminya.
Ada begitu banyak kata
maaf yang pernah kuharap kamu ucapkan setelah kamu melukai hatiku, namun kucoba
memaafkanmu meski kata itu tak pernah terucap.
Ada begitu banyak hal
yang seharusnya bisa membuatku menangis, namun kucoba tuk mengingat kenangan
manis kita sebisa mungkin agar tercipta tawa kembali.
Ada begitu banyak hal yang tak bisa kumengerti, namun kucoba tuk mengerti.
Ada begitu banyak hal
yang seharusnya bisa membuatku membencimu, namun kucoba tuk mengingat cinta
yang membuat kita bersatu.
Ada begitu banyak
bisikan yang menyuruhku tuk berhenti, namun kucoba tuk mengabaikannya.
Ada begitu banyak doa
dan harapan yang menginginkan kamu tuk menyadari segalanya, namun tetap tak
bisa.
Ada begitu banyak pengertian yang telah kuberikan, namun kamu menyalahgunakannya.
Hingga akhirnya begitu
banyak peluh tanda kelelahan yang menyesakku untuk memutuskan tali penghubung
antara aku dan kamu.
Kita sama – sama
keberatan dipisahkan, yang berbeda hanya bagaimana cara kita menyikapinya.
Mungkin.
Kesalahan kita
adalah sesuatu yang salah tak pernah diperbaiki saat masih ada kesempatan tuk
bersama.
Dan setelahnya akan
selalu ada dua pilihan saat perpisahan harus terjadi. Pertama, mencoba belajar
dari kesalahan dan memperjuangkan kembali cinta yang pernah ada. Kedua, tetap
bertahan dalam ego tanpa pernah mengambil sisi baik atas apa yang terjadi.
Tak sadarkah kamu? Yang
membuatku lelah tuk bertahan adalah ego yang kamu miliki. Yang bahkan membuatmu
selalu melihat aku menggunakan ego saat kamu rasa aku tak bisa mengerti
dirimu.
Meski sesungguhnya
telah kupertaruhkan perasaanku.
Karena sebutan egois hanyalah untuk mereka yang tak pernah mengakui bahwa terkadang dirinya masih saja terbelenggu egonya sendiri.
Dan kamu memilih yang
kedua. “Kata – kata terakhir” darimu hari ini yang sebenarnya tak pantas untuk
kamu ucapkan adalah satu - satunya hal yang membuatku tersadar bahwa kamu datang bukan untuk meyakinkan aku. Melainkan hanya menunjukkan egomu yang semakin besar.
"Kata - kata terakhir" yang menyakitkan itu adalah satu – satunya hal yang membuatku yakin untuk benar – benar
melepaskan kamu. Tanpa ada lagi harap
untuk kembali.
Sungguh perpisahan yang tidak menyenangkan untuk kita.
Namun, aku merelakan bila
kamu rasa perselisihan antara kita harus tetap ada bahkan hingga di saat kita
tak lagi bersama – sama.
Aku mengikhlaskan bila
sesuatu yang dimulai dengan pertemanan harus diakhiri dengan permusuhan.
Karena terkadang ego membuat kita kehilangan cinta dan melupakan alasan yang pernah membuat kita saling jatuh cinta.
Dan bila hari ini,
esok, lusa, dan seterusnya aku masih saja terbayang – bayang akan dirimu, juga
merasakan luka bila mengingat tentang kamu, biarkanlah.
Aku hanya tak ingin meciptakan kebohongan dalam diriku.
Suatu hari nanti aku
akan kembali baik - baik saja seperti sedia kala.
Tanpa harus memaksa hati untuk melupakanmu dengan cepat.
Tanpa harus memaksa hati untuk melupakanmu dengan cepat.
Luka ini memang
harus dinikmati hingga pulih kembali untuk menerima sesuatu yang baru di masa
yang akan datang.
Begitu seharusnya
bukan? :)
Baiklah... Aku pergi...
Jika sebuah kepergian
berhasil menyadarkan kamu, aku yakin kamu akan mengerti seberapa besar cinta
yang pernah kamu terima.
Jika sebuah kepergian tak berarti apapun bagi kamu, maka pantaslah
untukku berhenti membuang waktu bersama kamu. Sia – sia. ☺
Dan belajarlah dari kehilangan. Supaya kamu tersadar, aku (sempat) berjuang mempertahankan kamu yang hanya menyia - nyiakan. ☺
Sebab sebuah keberadaan seringkali baru terasa berharga ketika ia tak lagi dapat kamu miliki. ☺
Dan belajarlah dari kehilangan. Supaya kamu tersadar, aku (sempat) berjuang mempertahankan kamu yang hanya menyia - nyiakan. ☺
Sebab sebuah keberadaan seringkali baru terasa berharga ketika ia tak lagi dapat kamu miliki. ☺
Selamat tinggal,
kenangan.
_______________________THE END____________________
Post a Comment