A Letter To God #1

Tuhan....

Maaf, karena aku begitu bodoh. Baru terpikirkan dalam benak tuk menuliskan surat ini untuk-Mu. Seharusnya ini adalah hal ketiga yang aku lakukan setelah berdoa dan membaca Injil demi menenangkan hatiku. Dan aku tahu Engkau melihatku menulis surat ini dari Atas sana.  Kau duduk di singgasana-Mu, memperhatikan aku menggoreskan kata – demi kata dalam lembar kertas kosong dengan penuh rasa sesak yang amat sangat.
Tuhan....
Aku berpikir, mengapa aku diciptakan tuk menjadi seorang pendengar, bukan pembicara. Cara bicaraku buruk. Tidak, tidak... Aku tak suka mengumpat. Maksudku, aku tak bisa mengatakan apa yang kurasa dengan baik. Aku kesulitan.
Rasanya ingin sekali mengeluarkan seluruh emosi yang selalu kupendam di dada. Dada ini terasa penuh, nyeri, sesak. Ruang dalam dadaku kian lama kian menyempit karena terlalu banyak kusimpan rasa yang tak pernah bisa kulukiskan. Terlalu burukkah ini semua? Kurasa ya.
Bahkan aku meng-iya-kan setelah kupikir tak ada lagi tempat tersisa di sana. Juga kelelahan begitu terasa hampir di setiap helaan napasku. Bahkan aku tak berani mengambil napas panjang – panjang karena akan menimbulkan nyeri.
Setiap malam tidurku pun gelisah. Aku membolak – balikan tubuhku ke samping kiri dan kanan. Namun rasanya tetap sakit. Tidur dengan posisi terlentang pun hanya akan memunculkan sugesti yang buruk untukku. Berkali – kali  muncul bayangan akan batu – batu besar yang ditimpakan dari atas dan menindih tubuhku. Pedih. Namun, aku tak dapat mengeluarkan suara. Jangankan berteriak, berbisik lirih saja pun aku tak mampu. Dan sebagai gantinya, air mengalir, menggenangi pelupuk mataku. Sebagai tanda aku kesakitan.
Tuhan....
Aku memang tak terlalu ingin membiarkan orang lain tahu akan isi hatiku. Tapi, sesekali akan ada masa di mana aku mau orang – orang terdekat yang aku cintai, yang kehadirannya menciptakan warna dalam hidupku, untuk tahu dan mengerti tentang perasaanku. Namun, lagi – lagi kesulitanku untuk mengutarakan selalu mengacaukan segalanya. Mereka seringkali salah paham terhadapku. Mungkin persepsi yang lebih mendominasi isi kepala mereka dibandingkan keinginan yang lebih mendalam untuk mencerna kata demi kata yang terlontar dari padaku. Kalau sudah begitu, selalu timbul penyesalan dalam diriku, “Mengapa aku mengatakannya? Seharusnya aku diam.”

Tuhan....
Kemarin (mungkin) adalah salah satu dari sekian banyak hari terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku. Sebuah pertengkaran hebat terjadi antara aku dengan seseorang yang masuk dalam daftar orang – orang yang kusayangi. Sesungguhnya aku hanya ingin mencoba (lagi) memberitahukan perasaan sedih dan kecewa milikku. Kupikir dengan mengatakan kepadanya, segala sesuatu yang salah di antara kami dapat diperbaiki. Kukira hal – hal yang lebih manis akan tercipta setelahnya.
Tetapi, perkiraanku meleset bahkan melenceng jauh. Ternyata ia pun sedang berada dalam kondisi yang buruk. Lagi – lagi sesal dalam benak muncul seperti ingin menampar aku dan seolah berkata, “Akan lebih baik jika kamu diam, tahu?!”
Tuhan.... Salahkah aku bila kurasa lelah untuk menampung segala yang sesak ini dalam diam?
Aku telah begitu lama memendam, mungkin hingga semuanya membusuk dalam hati. Bahkan yang membuatku tercengang adalah caci dan maki keluar dari dirinya yang terlampau emosi. Engkau Yang Maha Tahu tentangku ya Tuhan. Kau yang paling mengetahui seberapa besar emosi dan amarah, kesedihan dan kelelahan, yang mungkin telah berada di puncak, jauh dari apa yang orang lain rasakan. Namun, seperti biasa Kau selalu menopangku. Kau membantuku tuk meredamnya. Kau menurunkan emosiku demi menenangkan dirinya yang kalap. Aku tahu aku bisa melakukan ini karena diri-Mu :’)
Tuhan....
Hari ini pun lelah dan gelisahku tak kunjung hilang, tanpa dapat kugambarkan dengan jelas apa penyebabnya. Hari ini seseorang yang lain tengah dilanda amarah dan kesedihan. Saat kutanya mengapa, ia menceritakan sedikit namun terlihat  jelas ada begitu banyak kemarahan dan kekecewaan dalam setiap cacian dan makian yang terlontar.

Tuhan....
Aku tak marah pada mereka yang meluapkan emosi padaku. Hanya saja itu membuatku berpikir tentang beberapa hal.
Semudah itukah mengeluarkan emosi lewat caci dan maki? Aku ingin sekali melakukan hal yang sama. Namun sayangnya aku tak pernah bisa.  Aku lebih memilih untuk membiarkannya mengendap. Hingga rasanya mau meledak. Walau sebenarnya ingin ku berlari ke tengah lapangan rumput hijau yang luas kemudian berteriak sekencang – kencangnya demi melegakan diriku.
Apa memang aku tercipta sebagai pendengar yang baik? Termasuk untuk menjadi tempat orang meluapkan emosi? Termasuk caci dan maki? Begitukah?
 
Tuhan...
Kutuliskan surat ini sambil kudengarkan lagu kesayanganku. Yiruma – Kiss The Rain.
Kau mendengarnya juga, bukan?
Lagu ini begitu hebat melengkapi suasana pilu dan sendu milikku.
Maafkan karena aku menuliskan surat ini hanya di atas selembar kertas putih biasa.
Bukan kertas berwarna – warni dengan gambar yang indah.
Juga tulisanku yang kian semrawut, sama halnya dengan hatiku yang berantakan.
Juga karena air mata yang menetes melunturkan coretan tinta dari beberapa kata yang tertera di sini.

Tuhan....
Kumohon jangan jauh dariku.
Jangan tinggalkan aku sendirian.
Aku takut! Aku lelah! Aku sesak!
Hanya Kau tempat ternyamanku untuk bercerita.
Hanya Kau yang benar – benar memahamiku, bahkan ketika aku belum membisikkannya pada-Mu.
Hanya Kau sumber kekuatanku di saat sekelilingku begitu ingin melelahkanku.
Hanya Kau sumber cahayaku di saat gelap menyelimuti dunia di sekitarku.
PELUK AKU TUHAN! PELUK AKU ERAT! :’(

One Comment

benediktus said...

jes, God is a great our father.
kl anak manusia merengek tepat ke arah dia, 100% anak itu digendong, dikasi mainan biar diem dan ga nangis lagi atau bahkan Tuhan bahkan kasi ekspresi terlucuNya biar anakNya ketawa lagi. pernah kah berfikir Tuhan berbuat sejauh itu ??
Tuhan rela ngelakuin apa aja buat nguatin anakNya sesuai dengan kebutuhan anakNya.
tapi yang jadi masalah adalah koneksi yang terkadang buat Tuhan susah gapai anakNya.
dan biasanya kesalahan koneksi terdapat sama anakNya.
koneksi ini menyangkut sikap hati yang benar.

jes, selalu inget kn rasa saat lw memendam sesuatu yang ga lw suka dari org lain ??
jadi org yang memendam ,ITU BAIK.
BAIK dsini adalah berarti lw secara ga sadar memilih untuk mengatasi masalah apa pun dengan 'otak' lain yang ada di hati lw
'otak' yang lain ini is your father, God

tp terkadang manusia cmn inget kl hatinya adalah punya dia, kl otaknya punya dia.
jadi segala sesuatu kepunyaan pribadi harus bs ditanganin sendiri, seluk belukny harus tau sendiri, cara tanganinnya harus tau, bhkan cara nyembuhinnya manusia selalu pakai kemampuan diri sendiri,
it's a big NO
hati manusia itu kecil, persis seperti api pada korek.
ga mngkin bisa tetep nyala kl disiram air seganyung.

tapi Tuhan sangat mengenal hati lw.
sifat api kl disulutdan plus ada bahan bakarNya bakal tambah besar bukan ?
itu dy kuncinya

saat masalah datang, biarin dy masuk ke dalam hati .
tapi 1 kata yang harus manusia ucapin : 'syukur'
syukur krn msh dikasi bnyk perkara..
dan 'tolong'
tolong biar Tuhan yang nyelesaiin hati lw
ini lah slh satu sikap hati yang benar dan inilah caranya

knp w blng td org yg mmendam itu baik,
krn saat dy memilih cara yang tepat betapa luar biasanya saat manusia merasakan seperti di upgrade.
manusia bkal ngerasain namanya kemampuan utk 'meredam' hal apa pun scara singkat. dan itu pekerjaan tangan Tuhan.
dy ga perlu ngeluarin suara, usaha, gerak, dan peralihan apa pun utk ngelupain rasa sakit.
tp yang bkal terasa adalah 'meredamnya'

kl emang passion lw adalah sebagai pendengar yang baik,
inget kl your father become a driver in your heart
dan smua psti bkal baik - baik saja.

dan w ykin kemampuan lw tdk sebatas hanya mendengar,
tapi pendengar yang baik diciptakan untuk penyampai pesan yang baik..
jadi, kl lw merasa lw ga mampu untuk speak up, mnta sama Tuhan.

cerita dan minta segala kebutuhan lw sama Tuhan, dy psti kangen denger crita lw dan permintaan lw
dan w yakin apa yang lw minta pasti dikasi krn dy tau tujuan lw, dy tau kebutuhan lw, dan dy itu adalah Ayah terbaik lw.



semoga bermanfaat bwt lw jes
GBU

Back to Top