Senandika Terang dan Gelap

Pernahkah ketakutan meliputimu,
dimulai dari puncak ubun – ubun hingga ujung jari kaki,
yang bahkan bergejolak secara serentak,
seakan tanda bahwa ragamu tak ingin bersentuhan dengannya?

Pernahkah bisikan kecil menuntunmu,
seolah menjanjikan tuk bersama – sama dengan kamu,
melawan rasa takut, menyembuhkan cabiknya hati?
Aku pernah.....
-----------------------------------
Mungkin lahir di kala langit tampak hitam gelap adalah guratan awal,
mengapa aku tak menyukai terang.
Kulit yang selalu berubah warna kemerahan saat terkena sinar mentari,
pun melengkapi ketidaksukaanku pada terang.
Wajah – wajah bertopeng yang begitu terlihat nyata dalam pandanganku,
di kala mentari menyinari mereka,
memperlihatkan siratan kepalsuan.
Aku lebih ngeri terhadap seringai mereka,
yang sesungguhnya adalah tohokan pedang tajam,
tuk menciptakan sayatan luka dalam.
Dibandingkan dengan makhluk – makhluk astral,
yang suka memanjakan diri mengitar tanpa arah dan aral,
di kala cahaya tak lagi tampak.

Dusta.
Pengkhianatan. Rasa sakit.
Segalanya seperti sesuatu yang benderang di sekelilingku.
Sesuatu yang aku benci.
Aku menyembunyikan diri dalam dunia buatanku sendiri.
Kunamai ia gelap.
Bukan gelap gulita tanda temaram yang mengeruhkan sebuah 1loka tempatku berpijak.
Tapi mematikan pendar – pendar cahaya dari segala arah,
agar jangan sampai aku terlihat,
agar jangan tersakiti oleh karena hal yang semu.
Bukan gelap gulita tanda kematian yang meggurat akhir zaman.
Terkadang kuciptakan sendiri secercah cahaya dalam malam kelam.
Dan sosokku berganti menjadi sebuah bintang kecil.
 -----------------------------------
Suatu hari 2renjana membuat sedikit rasa takut itu 3lesap entah kemana.
Dengan satu pertemuan manis. Antara aku dan kamu.
Ketika pertama kalinya dengan lembut kamu menyapaku, “Hello Sunshine!”
Serta – merta memberikan ucapan, “Morning My Sunshine!” dengan coretan gambar matahari. 
Aneh. Tak ada ketakutan sama sekali ketika kamu menyebutku matahari. 
Dan sejak itu gelapku tak benar–benar gelap.
Percikan kehadiranmu senantiasa tanpa lenguh menyoroti kelam duniaku.
Tertampak cinta dalam binar cahayamu, bukan siratan palsu.
Memberanikan aku tuk menatap dan berlama – lama berjemur di bawah terik sinar matahari. 

4Senandika terang dan gelap tak mengubah kecintaanku pada silam temaram.
Aku menjadi matahari untukmu. Namun aku tetaplah bintang untuk diriku.
Dan kepada kamu pemilik kelip mentari penyinar hati penghilang takutku.
Kuhadiahkan kamu cahaya yang juga kepunyaanku.
Kuulurkan tangan kecilku yang menggenggam sebongkah bintang terang.
Meletakkannya di tangan kokohmu yang selalu kau gunakan tuk menghangatkan aku dalam genggaman dan mengusap lembut wajah juga menyeka air mataku.
 _________________________________________________________________
“Jangan pernah takut membawaku ke dalam gelapmu. Pendar bintangku senantiasa kan temanimu melangkah. Sama sepertimu yang menyinariku lewat berjuta kilau cahaya, dan menjadikanku mataharimu.”
_________________________________________________________________
  1. Loka : dunia
  2. Renjana : rasa hati yang kuat
  3. Lesap : hilang, lenyap
  4. Senandika : wacana seorang tokoh dalam karya sastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkap perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut

Back to Top