TAKDIR.
Tuhan mempertemukan aku
dan kamu.
Memberikan
kesempatan tuk kita berjalan, berdua, merengkuh apa yang dinamakan CINTA.
Membiarkan angan dan asa
mengalun membentuk irama dengan ukiran nama KITA.
Sampai kita terhenti saat
kuterima sebuah PENOLAKAN karena perbedaan.
Sesungguhnya aku begitu
kesulitan menemukan titik penghubung antara perbedaan dengan perpisahan.
Ya, kau boleh sebut
aku Si-Liberalis-Yang-Mengagungkan-Kebebasan.
Kebebasan atas nama
perbedaan. Termasuk kebebasan untuk mencintai.
Acap kali aku berharap
ini hanyalah sebuah retorika belaka.
Tak perlu jawaban. Karena
aku pun enggan memberikan jawaban.
Secercah HARAPAN rupanya masih
menyala dalam riuhnya sorak – sorai penolakan.
Seakan tak mau kalah, ia
memperlihatkan bara apinya yang sesungguhnya hampir padam termakan
keputusasaan.
Mencoba beranggapan ini
hanyalah tantangan yang harus terlampaui.
Tak ada sedikitpun kata
menyerah walau tertatih melakukan PERJUANGAN.
Demi mempertahankan hal
yang mereka bilang takkan mungkin bersatu.
Saling memberikan
kekuatan dengan mengucap JANJI tuk mempertahankan, mengisi sisa hari tuk melakukan hal - hal
menyenangkan.
Seolah tak peduli akan
perbedaan yang berusaha memisahkan.
Bersama hingga tiba waktu
yang akan menentukan kapan kita harus berhenti berjuang.
Hingga tibalah saat kita
diharuskan tuk mencoba berjalan menelusuri setapak demi setapak cerita
kehidupan masing – masing.
Tidak lagi berdua. Tidak
lagi ada kita.
Sesekali aku dan kamu
seperti masih saling melemparkan perhatian di tengah upaya untuk membiasakan
diri tak lagi saling menumbuhkan cinta.
Namun kejanggalan demi
kejanggalan seperti sengaja diperlihatkan untukku.
Seperti begitu amat mudah
bagimu bangkit berdiri dan terlihat baik – baik saja bila dibandingkan saat
sebelumnya ketika kita berdua TERJATUH, meneteskan
air mata atas perbedaan yang tak menyenangkan ini.
Berkali – kali kulihat
kamu seperti sengaja membawa dirimu sendiri untuk mencari cerita cinta yang
baru.
Hanya dalam selang jeda
waktu yang terlalu dekat dengan hari kita berpisah.
Seolah kamu lupa akan
setiap kata demi kata yang t’lah terucap.
Aku dan kamu memang tak
pernah mengucapkan selamat tinggal.
Hanya saja perubahanmu
seperti sebuah sugesti yang mengharuskan aku menyadari bahwa kita memang telah
berpisah.
Dan aku pun sampai pada
titik di mana logika berhasil mengambil alih pikiranku yang hampir kacau balau.
Rasanya seperti bermain
teka – teki, memecahkan misteri.
Mengumpulkan clue dari
setiap hal yang mulanya kusebut prasangka.
Dan aku berbisik pada
diriku sendiri.
"Bukankah yang
terdekat selalu mempunyai kesempatan untuk menjadi yang paling menyakiti?”
"Bukankah semakin
percaya memberikan peluang untuk terciptanya sebuah pengkhianatan?"
"Bukankah semakin
cinta akan menambah peluang untuk membesarnya sebuah luka?"
"Bukankah perjuangan
takkan ada artinya bila hanya salah satu yang berjuang?”
Mungkinkah benar
perbedaan bukanlah satu - satunya alasan kita tak lagi bersama?
Dan aku takkan
mempertanyakan ketulusanmu saat kamu melakukan hal - hal tuk membuatku tertawa.
Juga takkan menghapus
memori ketika kamu memberikan hal - hal manis untukku.
Juga ketika kita menangis
bersama.
Ketika kamu dan aku
memperjuangkan KITA.
Sebab hanya saat itulah
aku yakin kamu tak sedang berpura - pura.
Sebab menghapusnya akan
sama dengan menghancurkan satu - satunya memori yang layak untuk dijadikan
kenangan.
Kepergianmu membuat
mataku terbuka.
Ketidakpedulianmu membuatku
tersadar.
Tanpamu aku baik – baik saja.
Dan cukup sekali aku
menyangkal apa yang kusebut KATA HATI.
Ketika ia berbisik
menyuruhku berjalan pergi meninggalkanmu. Dan segalanya tentangmu. :')
Fan page Facebook Bukune (http://www.facebook.com/bukunepenerbit)
Tumblr Bukune (http://bukune.tumblr.com/)
Post a Comment