Di tepi danau biru,
Duduk termenung seorang gadis di
bangku kayu yang hampir lapuk termakan usia.
Seringkali aku melihatnya,
terutama di setiap senja menyongsong.
Sosoknya diterangi cahaya lampu
yang ada di sebelah bangku kayu.
Rambut hitamnya tergerai, dengan
hiasan bandana berpita merah muda. Cantik.
Namun, matanya menyiratkan
ratapan kesedihan. Begitu sendu. Terliat jelas tersimpan beribu – ribu rahasia
di sana.
Mata cokelat tua miliknya mulai
terlihat berkaca – kaca. Pandangannya nanar.
Lalu, ia menengadahkan wajahnya
ke atas langit. Merapatkan kedua tangannya.
Gerakan bibirnya menunjukkan
bahwa ia tengah berbisik, mengucapkan sesuatu.
Mungkin merapalkan doa kepada
Sang Pencipta.
Kemudian, kulihat sosok gadis itu
bangkit dari duduknya. Berjalan mendekat ke pinggir
danau.
Menenggelamkan tangan halusnya ke
dalam air sehingga menimbulkan suara percikan – percikan air.
Beberapa detik lamanya, ia
menundukkan kepala. Bahunya bergetar.
Tetes demi tetes air mata
membasahi wajahnya.
Mengalir perlahan sebelum
akhirnya jatuh, bercampur dengan jernihnya air danau.
♥♥♥♥
Aku masih memperhatikannya dalam
diam.
Aku tak berani tuk menciptakan
gerak lebih banyak lagi agar ia tak menyadari keberadaanku.
Aku bersembunyi di balik semak
belukar, yang dulunya membuatku menggerutu karena mengganggu pemandangan saat
aku tengah sibuk mencari inspirasi untuk karyaku.
Sudah sedari dulu aku suka datang
ke tempat ini.
Tempat ternyaman untukku menulis
cerita.
Bangku kayu tempat gadis itu
duduk dulunya adalah tempatku. Milikku.
Ah, maksudku seperti sudah
menjadi singgasanaku karena aku mendudukinya setiap hari senja.
Bagiku, duduk di tepi danau
sambil menggenggam kertas serta menggoreskan tinta di atasnya adalah hal yang
menenangkan.
Dan tempat inilah saksi bisu
perjalananku menciptakan karya tulisku.
Namun hari itu, masih saat senja,
aku mendapati seseorang duduk di sana.
Awalnya aku ingin menghampirinya,
memakinya, atau mungkin mengusirnya karena singgasanaku direbut olehnya.
Tapi ada sesuatu yang
menghentikanku tuk tidak melakukannya.
Dari pertama kali hingga detik
ini aku melihatnya, satu hal yang tetap sama adalah matanya yang sendu.
Aku seperti mempunyai aktivitas
baru untuk memperhatikan gerak – geriknya.
Dan tak butuh waktu lama untuk
menyebut diriku sendiri bagai seorang PENGUNTIT.
Tapi, ini sungguh aneh!
Gadis itu seperti memiliki magnet
yang begitu kuat mengajakku untuk masuk ke dalam kehidupannya.
♥♥♥♥

Pada suatu hari senja, tentu
saja. Waktu di mana aku dapat menemukannya.
“Hey....” sapaku. Ia hanya
menatap wajahku dengan mata sayunya. Kemudian kembali menatap ke depan,
memandang ke arah danau.
“Mmmm. Bolehkah aku duduk di
sampingmu?” tanyaku, mencoba mengajaknya berbicara kembali. Namun dia tetap
diam. Kali ini menoleh pun tidak.
“Aku sering memperhatikanmu di
sini,” aku masih tak putus asa. Gadis itu menoleh dengan mata membulat.
Tatapannya seperti menuduhku layaknya seorang penguntit.
“Eh... Itu.... Maksudku, aku dulu
sering datang ke sini. Setiap senja. Sama denganmu. Aku suka menikmati
kesejukan saat duduk di tepi danau seperti sekarang ini,” agak salah tingkah
aku membetulkan ucapanku.
“Kau sering datang ke sini? Kau
menyukainya juga,” ia tersenyum simpul. Akhirnya, gayung seperti bersambut
padaku. Gadis ini mau berbicara.
“Ya. Aku seorang penulis. Entah
kenapa setiap kali aku ingin mencari inspirasi, aku selalu menemukannya di
sini. Bahkan aku menyebutnya singgasana.”
“Dan kehadiranku mengganggumu?
Begitukah?” tanyanya dengan nada yang terdengar agak ketus.
“Tidak. Tidak sama sekali.”
“Atau mungkin aku merebut
singgasanamu di setiap senja?”
“Tadinya aku berpikir begitu.
Tapi, aku akhirnya sadar bahwa aku merasa begitu tertarik untuk memperhatikan
dirimu.”
“Jadi benar kau seorang
penguntit,” tuduhan itu keluar juga dari mulutnya.
“Mungkin kelihatannya begitu.
Tapi sebetulnya tidak. Ya.... Entahlah, terserah kau saja mau menyebutku apa.
Maafkan aku,” aku mendengus pasrah.
“Hahaha. Aku bercanda. Jangan
tidak enak hati begitu,” ia meninju bahuku pelan. Dan ini tawanya yang pertama kali.
“Huh. Kau mempermainkan aku ya?
Coba mari kulihat apa di tubuhmu kau menggunakan magnet untuk menarikku agar mendekatimu?” candaku.
“Hahahaha. Jelas tidak ada. Kau
bodoh. Tapi kau lucu juga.” Baiklah, ini tawanya yang kedua.
“Hey, aku ini pintar. Pintar
membuatmu tertawa.” Ia terdiam. Sebelum akhirnya berkata, “Terima kasih.”
“Untuk apa kau berterima kasih?
Kupikir kau akan memarahiku karena aku menguntitmu.”
“Terima kasih karena membuatku
tersenyum hari ini. Bahkan tertawa,” ucapnya tanpa melihat ke arahku.
“Ya, kau tertawa dua kali tadi,”
aku menambahkan.
“Aku tak tahu kapan terakhir kali
aku tertawa. Tersenyum pun rasanya jarang sekali. Setiap kali tersenyum,
mungkin akan terlihat seperti dipaksakan.”
“Kau begitu manis saat tersenyum
tadi. Dan tertawa begitu lepas.”
“Ya. Untuk itu aku berterimakasih
padamu............. Mmm. Eh, namamu siapa?” tanyanya.
“Ah iya, kita sampai lupa
berkenalan. Hahaha. Namaku Alexis. Alexis Madisson.” Aku mengulurkan tangan.
“Brianna,” ia menyambut uluran
tanganku.
Begitulah perkenalan kami. Menyenangkan. Sejak
itu kami sering menghabiskan waktu bersama. Berbagi cerita, canda dan tawa.
Danau, bangku kayu, dan senja.
Tak lagi harus ada keraguan siapa yang lebih dulu berada di sana atau siapa
yang lebih pantas memilikinya.
Kami menyebutnya singgasana,
kepunyaan kita.
♥♥♥♥
Aku datang setiap senja ke danau
itu. Dia selalu ada di sana. Begitu terus.
Hingga suatu hari ia menghilang.
Entah kemana.
Dan bodohnya aku tak tahu di mana
alamat tempat ia tinggal. Aku merutuki diriku dalam hati.
Tanpa kenal lelah, aku tetap
datang ke sana dengan harap ia akan muncul kembali. Dengan membawa penjelasan yang
berarti untukku.
Aku kehilangan sosoknya.
Apakah ia telah mendapatkan
singgasana yang baru?
Apakah ia telah menemukan seorang
yang lain yang dapat membuatnya tertawa lebih sering dari yang aku lakukan
untuknya?
♥♥♥♥
Sampai di suatu hari minggu.
Kembali di waktu senja.
Aku duduk termenung di bangku
kayu. Sudah hampir satu jam aku di sana. Menunggunya. Seperti biasa.
Mungkin ia takkan datang lagi ke
sini, pikirku. Aku pun memutuskan untuk beranjak pergi.
Tiba –
tiba.........................
“Alexis!” Aku menoleh ke arah
suara itu.
“Brianna! Hey, kau dari mana
saja? Mengapa kau pergi dariku? Aku mengkhawatirkanmu. Cepat beri aku
penjelasan!”
“Maafkan aku, Alex. Aku.....Aku........”
Brianna tak melanjutkan kata – katanya. Ia malah menutupi wajahnya. Dan
kemudian terdengar suara isak tangisnya.
“Ada apa denganmu, Brian?
Ceritakan padaku. Tolong,” aku merangkul bahunya. Setelah isak tangisnya
mereda, Brianna berkata dengan suara lirih.
.jpg)
Aku merangkulnya lebih erat dan
berkata, “Biasanya kita bertemu dan menghabiskan waktu senja di sini. Besok aku
ingin mengajakmu ke tempat yang lain. Tak lagi saat senja. Tapi esok pagi.
Bagaimana? Kau mau bukan?”
“Mengapa kau mengatakannya?”
“Sudahlah. Aku ingin kau menjawab
mau atau tidak.”
“Baiklah......” kata Brianna
akhirnya.
“Besok pagi kita bertemu di danau
ini. Kemudian, aku akan mengajakmu ke tempat yang aku maksud. Hapus air matamu.
Kita pulang. ” Brianna mengusap air matanya,
lalu mengangguk.
♥♥♥♥
Keesokan harinya.
“Hey. Sejak kapan kau datang?
Sudah lamakah kau menunggu?” aku melihat Brianna duduk di bangku kayu sambil
menggoyang – goyangkan kakinya, kelihatan sekali ia bosan menunggu.
“Huh. Kau terlambat 15 menit!”
serunya dengan wajah cemberut. Tapi, hal itu sama sekali tak mengurangi
kecantikannya.
“Maafkan aku, Brian. Aku harus
mengantar adikku terlebih dahulu. Ayolah, cepat. Kita berangkat sekarang,”
kataku sambil menarik tangannya, mengajak dan menyuruhnya naik ke atas sepedaku yang kuparkir tak
jauh dari sana.
“Mengapa kau bawa aku ke sini?
Uhh, kotor sekali tempat ini! Sudah bagus kita menghabiskan waktu di danau
kesayangan kita! Aku tak ingin di sini. Bisa – bisa tubuhku gatal – gatal.
Antarkan aku pulang, Alexis!” Brianna langsung menggerutu dan menghentak -
hentakkan kakinya setibanya kami di tempat yang aku maksud.
Aku membawanya ke sebuah rawa
yang kotor dan penuh lumpur. Aku sengaja melakukannya. Aku menoleh ke arah Brianna
dan menggandeng tangannya untuk lebih mendekat ke arah rawa.
“Kemari. Akan kutunjukkan kau sesuatu dan kau
akan mengerti mengapa aku membawamu ke sini,” ujarku sambil tersenyum padanya.
Ia pun menurut.
.............................................................................................................................................................................
Brianna mengerutkan keningnya,
“Uhhmmm.. Bunga teratai...?” jawabnya ragu – ragu.
“Ya, tepat sekali! Bunga teratai
di tengah rawa yang bau, kotor, penuh lumpur, dan yaaaa.... Kau tahu,
menjijikan sekali bukan?” Brianna menganggukan kepalanya.
“Saat pertama kali diajak ke
tempat ini oleh ibuku, aku sama sepertimu. Merasa jijik dan selalu merengek –
rengek minta pulang. Aku kesal. Di saat kehidupan berusaha melemahkan jiwa dan meruntuhkan
ragaku, ibu malah mengajakku kemari. Namun, ibuku menempelkan jari telunjuknya
ke bibirku sebagai isyarat agar aku tak lagi bicara. Aku menurut. Dan akhirnya
ibu memperlihatkan bunga teratai itu. Hingga detik ini, hingga ibuku telah
tiada, aku masih mengingat kata – katanya. Dan takkan pernah kulupakan seumur
hidupku. Kau tahu apa yang ibu katakan padaku?” Brianna menggeleng. Aku menerawang.
Memaksa pikiranku melayang ke dimensi waktu 10 tahun silam.
Ibu:
Nak, coba kau lihat bunga teratai
di sana. Cantik, bukan?”
Aku:
Ya, ibu. Tapi kenapa bunga
secantik itu berada di rawa yang airnya begitu keruh?
Teratai itu bunga yang
sangat cantik, sayang. Tak hanya bentuknya, namun ia juga memiliki arti yang
begitu indah. Bunga teratai hidup di atas air yang kotor. Banyak sekali kuman
penyakit bertebaran di sekelilingnya. Bahkan, daunnya yang lebar sering
dijadikan tempat loncatan katak untuk menyeberangi rawa. Dengan tempat
hidupnya yang begitu kotor dan menjijikan, makhluk lain sering membuat persepsi
yang berujung cemooh. Menjauhinya seakan ia tak pantas untuk bersanding dengan
mereka – mereka yang angkuh dan merasa paling sempurna.
Tapi sesungguhnya mereka tak
mampu melihat, bunga teratai tetaplah tumbuh dengan begitu menawan bahkan saat
lingkungan di sekitarnya terus berusaha merusak keindahan yang dimilikinya.
Kecantikannya tetap terpancar berdasarkan buah ketegaran bertahan hidup di tempat yang kotor seperti rawa.


“Alex.......... Aku.............”
Brianna menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia tak mampu melanjutkan kata –
kata. Tangis kecilnya mulai terdengar. Sama persis dengan apa yang ia lakukan saat menangis pertama kali di hadapanku.

“A-a-aapa i-i-tuu, A-a-l-ex?”
tanya Brianna terbata – bata di sela isak tangisnya.
“Bolehkah aku berjalan selalu di
sampingmu, menggenggam tanganmu, dan memelukmu erat?” tanyaku. Mataku mulai
berkaca – kaca seperti dirinya.
“Mengapa?” ia balik bertanya.
“Aku ingin mensejajarkan diriku dengan berjalan di sampingmu. Aku ingin menggenggam tanganmu agar kau tak perlu takut dan merasa sendirian. Aku ingin memelukmu erat agar kau tahu kau selalu punya tempat bersandar tuk melepas lelah dan berbagi derita. Aku untukmu, sahabat.” Kupeluk erat dirinya. Erat sekali. Dan tangis Brianna pun pecah. Begitu pun aku.

“Alexis..... Aku......... Aku tak
tahu harus mengatakan apa padamu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Mungkin beribu – ribu ucapan terima kasih takkan mampu mengganti apa yang telah
kau perbuat untukku. Aku senang sekali bertemu denganmu. Aku pun untukmu, Alex.
Aku untukmu, sahabat. Terima kasih banyak.” Brianna berbisik.
♥♥♥♥
Aku pun mengerti mengapa aku bisa begitu
terbuka terhadapmu, mengapa aku merasa kau berbeda dari yang lainnya, dan
mengapa aku bisa menjadikanmu sahabatku.
Sebab ternyata dari awal Tuhan telah
menunjukkannya. Aku saja yang terlambat menyadarinya. Namamu. Alexis. Berarti ‘Pelindung
Manusia’. Kau pelindungku. Pelindung yang dikirim Tuhan.
Terima kasih.
Brianna tersenyum melihat kata –
kata yang baru saja ditulisnya di sebuah kartu berwarna biru muda. Brianna menempelkannya ke
sebuah kotak yang telah dibungkus kertas kado bergambar bunga teratai. Ia pun
beranjak dari duduknya, mengenakan syalnya, membawa kotak kadonya, dan bergegas
pergi ke tempat favoritnya untuk menemui sahabatnya. Danau Biru.
__________________________________________________________________________________________
P.S:
This story is special dedicated to one of my bestfriends with initial M.T.L ..........
Aku mungkin tak bisa merasakan sesuatu yang merapuhkan duniamu. Namun aku bisa mengulurkan tangan, mengusap air matamu, dan menopangmu, sahabat.
Aku tak bisa berdiam diri melihatmu kesusahan. Maka, kutuliskan sebuah cerita. Khusus untukmu. Agar kau tahu ku disini jika kau membutuhkanku.
Bahkan di saat kita tak bisa merentangkan tangan membentuk sebuah pelukan hangat yang menenangkan, bacalah cerita ini. Agar kau ingat aku tak melupakanmu. Aku tak membiarkanmu berjalan sendirian.
Dan tetaplah menjadi si bunga teratai.
Tegarlah. Kau kuat. Kau pasti kuat..................
Tegarlah. Kau kuat. Kau pasti kuat..................
Post a Comment