Senja Sendu Si Bunga Teratai

(I recommend you to download this song before you read this story: X Japan - Tears)



Di tepi danau biru, 
Duduk termenung seorang gadis di bangku kayu yang hampir lapuk termakan usia.
Seringkali aku melihatnya, terutama di setiap senja menyongsong.
Sosoknya diterangi cahaya lampu yang ada di sebelah bangku kayu.
Rambut hitamnya tergerai, dengan hiasan bandana berpita merah muda. Cantik.
Balutan baju terusan berwarna putih yang dikenakannya memperlihatkan lekuk tubuhnya yang semampai.
Namun, matanya menyiratkan ratapan kesedihan. Begitu sendu. Terliat jelas tersimpan beribu – ribu rahasia di sana.
Mata cokelat tua miliknya mulai terlihat berkaca – kaca. Pandangannya nanar.
Lalu, ia menengadahkan wajahnya ke atas langit. Merapatkan kedua tangannya.
Gerakan bibirnya menunjukkan bahwa ia tengah berbisik, mengucapkan sesuatu.
Mungkin merapalkan doa kepada Sang Pencipta.
Entah apa isinya.
Kemudian, kulihat sosok gadis itu bangkit dari duduknya. Berjalan mendekat ke pinggir danau.
Menenggelamkan tangan halusnya ke dalam air sehingga menimbulkan suara percikan – percikan air.
Beberapa detik lamanya, ia menundukkan kepala. Bahunya bergetar.
Tetes demi tetes air mata membasahi wajahnya.
Mengalir perlahan sebelum akhirnya jatuh, bercampur dengan jernihnya air danau.

♥♥♥♥

Aku masih memperhatikannya dalam diam.
Aku tak berani tuk menciptakan gerak lebih banyak lagi agar ia tak menyadari keberadaanku.
Aku bersembunyi di balik semak belukar, yang dulunya membuatku menggerutu karena mengganggu pemandangan saat aku tengah sibuk mencari inspirasi untuk karyaku.
Sudah sedari dulu aku suka datang ke tempat ini.
Tempat ternyaman untukku menulis cerita.
Bangku kayu tempat gadis itu duduk dulunya adalah tempatku. Milikku.
Ah, maksudku seperti sudah menjadi singgasanaku karena aku mendudukinya setiap hari senja.
Bagiku, duduk di tepi danau sambil menggenggam kertas serta menggoreskan tinta di atasnya adalah hal yang menenangkan.
Dan tempat inilah saksi bisu perjalananku menciptakan karya tulisku.
Namun hari itu, masih saat senja, aku mendapati seseorang duduk di sana.
Awalnya aku ingin menghampirinya, memakinya, atau mungkin mengusirnya karena singgasanaku direbut olehnya.
Tapi ada sesuatu yang menghentikanku tuk tidak melakukannya.
Dari pertama kali hingga detik ini aku melihatnya, satu hal yang tetap sama adalah matanya yang sendu.
Aku seperti mempunyai aktivitas baru untuk memperhatikan gerak – geriknya.
Dan tak butuh waktu lama untuk menyebut diriku sendiri bagai seorang PENGUNTIT.
Tapi, ini sungguh aneh!
Gadis itu seperti memiliki magnet yang begitu kuat mengajakku untuk masuk ke dalam kehidupannya.

♥♥♥♥

Setelah beberapa lama menguntit--OH! Bahkan kata ‘menguntit’ masih saja terdengar aneh bagiku walau sudah terbilang cukup lama aku melakukannya--Aku memberanikan diri tuk menghampirinya.
Pada suatu hari senja, tentu saja. Waktu di mana aku dapat menemukannya.

“Hey....” sapaku. Ia hanya menatap wajahku dengan mata sayunya. Kemudian kembali menatap ke depan, memandang ke arah danau.
“Mmmm. Bolehkah aku duduk di sampingmu?” tanyaku, mencoba mengajaknya berbicara kembali. Namun dia tetap diam. Kali ini menoleh pun tidak.
“Aku sering memperhatikanmu di sini,” aku masih tak putus asa. Gadis itu menoleh dengan mata membulat. Tatapannya seperti menuduhku layaknya seorang penguntit.
“Eh... Itu.... Maksudku, aku dulu sering datang ke sini. Setiap senja. Sama denganmu. Aku suka menikmati kesejukan saat duduk di tepi danau seperti sekarang ini,” agak salah tingkah aku membetulkan ucapanku.
“Kau sering datang ke sini? Kau menyukainya juga,” ia tersenyum simpul. Akhirnya, gayung seperti bersambut padaku. Gadis ini mau berbicara.
“Ya. Aku seorang penulis. Entah kenapa setiap kali aku ingin mencari inspirasi, aku selalu menemukannya di sini. Bahkan aku menyebutnya singgasana.”
“Dan kehadiranku mengganggumu? Begitukah?” tanyanya dengan nada yang terdengar agak ketus.
“Tidak. Tidak sama sekali.”
“Atau mungkin aku merebut singgasanamu di setiap senja?”
“Tadinya aku berpikir begitu. Tapi, aku akhirnya sadar bahwa aku merasa begitu tertarik untuk memperhatikan dirimu.”
“Jadi benar kau seorang penguntit,” tuduhan itu keluar juga dari mulutnya.
“Mungkin kelihatannya begitu. Tapi sebetulnya tidak. Ya.... Entahlah, terserah kau saja mau menyebutku apa. Maafkan aku,” aku mendengus pasrah.
“Hahaha. Aku bercanda. Jangan tidak enak hati begitu,” ia meninju bahuku pelan. Dan ini tawanya yang pertama kali.
“Huh. Kau mempermainkan aku ya? Coba mari kulihat apa di tubuhmu kau menggunakan magnet untuk menarikku agar mendekatimu?” candaku.
“Hahahaha. Jelas tidak ada. Kau bodoh. Tapi kau lucu juga.” Baiklah, ini tawanya yang kedua.
“Hey, aku ini pintar. Pintar membuatmu tertawa.” Ia terdiam. Sebelum akhirnya berkata, “Terima kasih.”
“Untuk apa kau berterima kasih? Kupikir kau akan memarahiku karena aku menguntitmu.”
“Terima kasih karena membuatku tersenyum hari ini. Bahkan tertawa,” ucapnya tanpa melihat ke arahku.
“Ya, kau tertawa dua kali tadi,” aku menambahkan.
“Aku tak tahu kapan terakhir kali aku tertawa. Tersenyum pun rasanya jarang sekali. Setiap kali tersenyum, mungkin akan terlihat seperti dipaksakan.”
“Kau begitu manis saat tersenyum tadi. Dan tertawa begitu lepas.”
“Ya. Untuk itu aku berterimakasih padamu............. Mmm. Eh, namamu siapa?” tanyanya.
“Ah iya, kita sampai lupa berkenalan. Hahaha. Namaku Alexis. Alexis Madisson.” Aku mengulurkan tangan.
“Brianna,” ia menyambut uluran tanganku.
Begitulah perkenalan kami. Menyenangkan. Sejak itu kami sering menghabiskan waktu bersama. Berbagi cerita, canda dan tawa.

Danau, bangku kayu, dan senja. Tak lagi harus ada keraguan siapa yang lebih dulu berada di sana atau siapa yang lebih pantas memilikinya.
Kami menyebutnya singgasana, kepunyaan kita.

♥♥♥♥

Aku datang setiap senja ke danau itu. Dia selalu ada di sana. Begitu terus. 
Hingga suatu hari ia menghilang. Entah kemana.
Dan bodohnya aku tak tahu di mana alamat tempat ia tinggal. Aku merutuki diriku dalam hati.
Tanpa kenal lelah, aku tetap datang ke sana dengan harap ia akan muncul kembali. Dengan membawa penjelasan yang berarti untukku.
Aku kehilangan sosoknya.
Apakah ia telah mendapatkan singgasana yang baru?
Apakah ia telah menemukan seorang yang lain yang dapat membuatnya tertawa lebih sering dari yang aku lakukan untuknya?

♥♥♥♥

Sampai di suatu hari minggu. Kembali di waktu senja.
Aku duduk termenung di bangku kayu. Sudah hampir satu jam aku di sana. Menunggunya. Seperti biasa.
Mungkin ia takkan datang lagi ke sini, pikirku. Aku pun memutuskan untuk beranjak pergi.
Tiba – tiba.........................
“Alexis!” Aku menoleh ke arah suara itu.
“Brianna! Hey, kau dari mana saja? Mengapa kau pergi dariku? Aku mengkhawatirkanmu. Cepat beri aku penjelasan!”
“Maafkan aku, Alex. Aku.....Aku........” Brianna tak melanjutkan kata – katanya. Ia malah menutupi wajahnya. Dan kemudian terdengar suara isak tangisnya.
“Ada apa denganmu, Brian? Ceritakan padaku. Tolong,” aku merangkul bahunya. Setelah isak tangisnya mereda, Brianna berkata dengan suara lirih.
“Kau tahu? Berkali – kali aku seperti diterjang badai, dihantam ombak.  Setiap hari aku berusaha menjadi kuat. Sendirian. Namun, sepertinya aku salah. Aku bukan seorang yang kuat. Atau mungkin aku kuat namun tak selalu bisa menjadi kuat. Sekalinya aku putuskan untuk melemah, aku benar – benar menjadi begitu rapuh. Aku bahkan menyangkal diriku sendiri. Aku sama sekali tak menikmati kesendirianku. Aku kesepian. Entah sudah berapa lama aku hidup berpura – pura. Dan apa yang aku alami sungguh amat sangat berat untukku. Aku tak punya teman bicara. Atau mungkin memang tak ada tempat untukku berbagi. Manusia di sekelilingku hanya seperti lalu – lalang melintas di kehidupanku. Dan aku pun tak menyangka ternyata aku berbakat sekali menjadi aktris. Mereka percaya dengan senyum palsu yang aku buat. Mereka tak pernah melihatku berlinang air mata. Dengan mudahnya mereka membuat suatu persepsi seakan aku adalah manusia paling bahagia di dunia. Aku..........” Brianna menghela napas. Terdiam cukup lama. Aku menunggunya berbicara kembali, namun ia tetap diam tak bergeming.
Aku merangkulnya lebih erat dan berkata, “Biasanya kita bertemu dan menghabiskan waktu senja di sini. Besok aku ingin mengajakmu ke tempat yang lain. Tak lagi saat senja. Tapi esok pagi. Bagaimana? Kau mau bukan?”
“Mengapa kau mengatakannya?”
“Sudahlah. Aku ingin kau menjawab mau atau tidak.”
“Baiklah......” kata Brianna akhirnya.
“Besok pagi kita bertemu di danau ini. Kemudian, aku akan mengajakmu ke tempat yang aku maksud. Hapus air matamu. Kita pulang. ”  Brianna mengusap air matanya, lalu mengangguk.

♥♥♥♥

Keesokan harinya.
“Hey. Sejak kapan kau datang? Sudah lamakah kau menunggu?” aku melihat Brianna duduk di bangku kayu sambil menggoyang – goyangkan kakinya, kelihatan sekali ia bosan menunggu.
“Huh. Kau terlambat 15 menit!” serunya dengan wajah cemberut. Tapi, hal itu sama sekali tak mengurangi kecantikannya.
“Maafkan aku, Brian. Aku harus mengantar adikku terlebih dahulu. Ayolah, cepat. Kita berangkat sekarang,” kataku sambil menarik tangannya, mengajak dan menyuruhnya naik ke atas sepedaku yang kuparkir tak jauh dari sana.


“Mengapa kau bawa aku ke sini? Uhh, kotor sekali tempat ini! Sudah bagus kita menghabiskan waktu di danau kesayangan kita! Aku tak ingin di sini. Bisa – bisa tubuhku gatal – gatal. Antarkan aku pulang, Alexis!” Brianna langsung menggerutu dan menghentak - hentakkan kakinya setibanya kami di tempat yang aku maksud.
Aku membawanya ke sebuah rawa yang kotor dan penuh lumpur. Aku sengaja melakukannya. Aku menoleh ke arah Brianna dan menggandeng tangannya untuk lebih mendekat ke arah rawa.
“Kemari. Akan kutunjukkan kau sesuatu dan kau akan mengerti mengapa aku membawamu ke sini,” ujarku sambil tersenyum padanya. Ia pun menurut.

.............................................................................................................................................................................


“Apakah kau melihat sesuatu di rawa itu? tanyaku pada Brianna.
Brianna mengerutkan keningnya, “Uhhmmm.. Bunga teratai...?” jawabnya ragu – ragu.
“Ya, tepat sekali! Bunga teratai di tengah rawa yang bau, kotor, penuh lumpur, dan yaaaa.... Kau tahu, menjijikan sekali bukan?” Brianna menganggukan kepalanya.
“Saat pertama kali diajak ke tempat ini oleh ibuku, aku sama sepertimu. Merasa jijik dan selalu merengek – rengek minta pulang. Aku kesal. Di saat kehidupan berusaha melemahkan jiwa dan meruntuhkan ragaku, ibu malah mengajakku kemari. Namun, ibuku menempelkan jari telunjuknya ke bibirku sebagai isyarat agar aku tak lagi bicara. Aku menurut. Dan akhirnya ibu memperlihatkan bunga teratai itu. Hingga detik ini, hingga ibuku telah tiada, aku masih mengingat kata – katanya. Dan takkan pernah kulupakan seumur hidupku. Kau tahu apa yang ibu katakan padaku?” Brianna menggeleng. Aku menerawang. Memaksa pikiranku melayang ke dimensi waktu 10 tahun silam.

Ibu:
Nak, coba kau lihat bunga teratai di sana. Cantik, bukan?”

Aku:
Ya, ibu. Tapi kenapa bunga secantik itu berada di rawa yang airnya begitu keruh?

Ibu:
Teratai itu bunga yang sangat cantik, sayang. Tak hanya bentuknya, namun ia juga memiliki arti yang begitu indah. Bunga teratai hidup di atas air yang kotor. Banyak sekali kuman penyakit bertebaran di sekelilingnya. Bahkan, daunnya yang lebar sering dijadikan tempat loncatan katak untuk menyeberangi rawa. Dengan tempat hidupnya yang begitu kotor dan menjijikan, makhluk lain sering membuat persepsi yang berujung cemooh. Menjauhinya seakan ia tak pantas untuk bersanding dengan mereka – mereka yang angkuh dan merasa paling sempurna.
Tapi sesungguhnya mereka tak mampu melihat, bunga teratai tetaplah tumbuh dengan begitu menawan bahkan saat lingkungan di sekitarnya terus berusaha merusak keindahan yang dimilikinya. Kecantikannya tetap terpancar berdasarkan buah ketegaran bertahan hidup di tempat yang kotor seperti rawa.
Begitu juga dengan kehidupan manusia. Kehidupan kita. Akan ada begitu banyak rintangan yang harus kita lewati. Bahkan terkadang kau perlu terseok – seok serta menguras air mata dan tenaga terlebih dahulu saat menghadapinya. Berat memang, namun percayalah Tuhan takkan membiarkan kita berjalan sendiri. Tuhan takkan memberikan cobaan di luar batas kemampuan yang kau miliki. Ketika kau telah mempercayai itu, kau akan tetap mampu berdiri walau kehidupan kelam terus – menerus ingin mematahkan jiwa dan raga, melenyapkan kobaran api semangat milikmu. Tegarlah, Nak. Kau kuat. Kau pasti kuat. Apalagi ada ibu di sampingmu.


Aku menoleh ke arah Brianna. Matanya berkaca- kaca. Aku mengusap rambutnya seraya berkata, “Jadilah seperti teratai yang tumbuh dalam lumpur namun tetap suci dan indah, tegak berdiri walau mendapat banyak rintangan.”
“Alex.......... Aku.............” Brianna menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia tak mampu melanjutkan kata – kata. Tangis kecilnya mulai terdengar. Sama persis dengan apa yang ia lakukan saat menangis pertama kali di hadapanku.
“Tegarlah, Brianna. Kau kuat. Kau pasti kuat. Apalagi ada aku di sampingmu. Dan bolehkah kuajukan permintaan padamu?”
“A-a-aapa i-i-tuu, A-a-l-ex?” tanya Brianna terbata – bata di sela isak tangisnya.
“Bolehkah aku berjalan selalu di sampingmu, menggenggam tanganmu, dan memelukmu erat?” tanyaku. Mataku mulai berkaca – kaca seperti dirinya.
“Mengapa?” ia balik bertanya.

“Aku ingin mensejajarkan diriku dengan berjalan di sampingmu. Aku ingin menggenggam tanganmu agar kau tak perlu takut dan merasa sendirian. Aku ingin memelukmu erat agar kau tahu kau selalu punya tempat bersandar tuk melepas lelah dan berbagi derita. Aku untukmu, sahabat.” Kupeluk erat dirinya. Erat sekali. Dan tangis Brianna pun pecah.  Begitu pun aku.
“Kau tahu? Saat pertama kali kau memperkenalkan diri dan memberitahukan namamu, dalam lubuk hatiku aku telah yakin bahwa kau adalah gadis yang kuat. Mungkin lebih kuat dari dugaanku. Lebih kuat dari perkiraanmu sendiri. Brianna. Namamu berarti ‘Sesuatu Yang Kuat’,” bisikku di telinganya.
“Alexis..... Aku......... Aku tak tahu harus mengatakan apa padamu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Mungkin beribu – ribu ucapan terima kasih takkan mampu mengganti apa yang telah kau perbuat untukku. Aku senang sekali bertemu denganmu. Aku pun untukmu, Alex. Aku untukmu, sahabat. Terima kasih banyak.” Brianna berbisik.

♥♥♥♥

Aku pun mengerti mengapa aku bisa begitu terbuka terhadapmu, mengapa aku merasa kau berbeda dari yang lainnya, dan mengapa aku bisa menjadikanmu sahabatku.
Sebab ternyata dari awal Tuhan telah menunjukkannya. Aku saja yang terlambat menyadarinya. Namamu. Alexis. Berarti ‘Pelindung Manusia’. Kau pelindungku. Pelindung yang dikirim Tuhan.
Terima kasih.

Brianna tersenyum melihat kata – kata yang baru saja ditulisnya di sebuah kartu berwarna biru muda. Brianna menempelkannya ke sebuah kotak yang telah dibungkus kertas kado bergambar bunga teratai. Ia pun beranjak dari duduknya, mengenakan syalnya, membawa kotak kadonya, dan bergegas pergi ke tempat favoritnya untuk menemui sahabatnya. Danau Biru.

__________________________________________________________________________________________


P.S:
This story is special dedicated to one of my bestfriends with initial M.T.L ..........

Aku mungkin tak bisa merasakan sesuatu yang merapuhkan duniamu. Namun aku bisa mengulurkan tangan, mengusap air matamu, dan menopangmu, sahabat.
Aku tak bisa berdiam diri melihatmu kesusahan. Maka, kutuliskan sebuah cerita. Khusus untukmu. Agar kau tahu ku disini jika kau membutuhkanku.
Bahkan di saat kita tak bisa merentangkan tangan membentuk sebuah pelukan hangat yang menenangkan, bacalah cerita ini. Agar kau ingat aku tak melupakanmu. Aku tak membiarkanmu berjalan sendirian.
Dan tetaplah menjadi si bunga teratai.
Tegarlah. Kau kuat. Kau pasti kuat..................

                                                                                   

Sincerely Yours,

Jessica Patricia      

Back to Top