The Little Thing Called Love Episode 4: Take Us For Who We Are

Backsound:
Utada Hikaru - First Love (Instrumental Piano) 
___________________________________________________________________________________________________

Untuk kamu.
Dan untuk ketakutan yang selalu terpendam.
Meski aku berusaha menghilangkannya namun seringkali sia - sia.
.............................................................................................................................................................................

Tak terhitung berapa banyaknya aku mengajukan pertanyaan pada diriku sendiri.
Pertanyaan yang seperti muncul begitu saja dalam pikiranku.
Tanpa ada yang menjawabnya.
Ataukah memang tak ada jawaban untuk segala yang kupertanyakan?
Aku menerawang, memaksa otakku untuk melakukan flashback pada apa yang kusebut masa silam.

Aku takkan menghitung berapa kali jatuh cinta dan jatuh sakit yang kuderita.
Namun aku tahu itu terjadi berkali – kali.
Sempat terpikir olehku untuk tidak lagi membawa diriku kepada hal yang mereka bilang itu menyenangkan.
Bagiku merasakan cinta hanyalah salah satu cara termudah untuk menciptakan luka dalam hati.
Setelah yang terakhir kali, aku seperti tak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun.
Sudah cukup kubiarkan luka mengoyakkan hatiku yang sesungguhnya rapuh hampir mati.

Sering kali aku berpikir, “Apa akan datang kembali seseorang yang lain dalam hidupku?”.
Kali ini aku menjawab itu. Sendiri. “Ya. Itu pasti. Tapi apa aku akan membiarkannya menjadi bagian dalam hidupku?”
Aku tak menjawab. Tak mau menjawab lebih tepatnya.

Hingga kemudian kamu datang.
Iya. Kamu.
Kamu yang membuatku menyunggingkan senyum setiap kali membaca pesan darimu.
Kamu yang mencerahkan wajahku setiap kali kuterima telepon darimu.
Kamu yang menciptakan degup jantungku begitu kencang saat pertama kali kita bertemu.
Kegembiraan itu semakin tercipta saat aku dan kamu memutuskan untuk menjadi KITA.
Begitu pula saat menginjak bulan pertama hari jadi kita.


Betapa teringat jelas dalam benakku beberapa hal sebelum aku bertemu kamu.
Termasuk betapa santai dan menyenangkannya menjadi diriku tanpa seseorang di sampingku.
Aku tak perlu memegang handphoneku secara terus – menerus,
tanpa harus takut lupa untuk memberikan kabar,
tanpa harus cemas menunggu diberi kabar oleh seseorang,
ataupun takut akan ada seseorang yang kesal karena tak kunjung mendapat perhatian dariku.
Juga tak perlu takut akan dilukai.
Beberapa lamanya aku nikmati itu semua.

Kemudian, scene dalam otakku pun berotasi menjadi sebuah memori saat aku mempertanyakan tentang kita.
Bagaimana kehidupan dan cara pergaulan kita yang berbeda.
Juga masalah usia. Kamu lebih muda dariku.
Dan pertanyaan – pertanyaan lainnya yang menimbulkan pertanyaan paling utama dalam benakku.
Apa benar kamu menyukaiku? Apa benar kamu yakin akan kita?
Tidakkah kamu ingin mencari seseorang yang lain yang mungkin akan lebih baik dariku?
Normalkah bila aku mempunyai pikiran seperti ini?



Dan aku tak ingin mendustai diriku sendiri bila pertanyaanku tak hanya berhenti sampai di situ.
Sering kali aku mempertanyakan.
Pada diriku sendiri mungkin. Seperti biasa.
Aku hanya memiliki kesederhanaan dalam mencintai kamu.
Namun apakah itu cukup?
Akankah suatu saat nanti mungkin kamu akan menginginkan sesuatu yang lebih dariku?
Dan apa aku bisa memenuhinya?

Entah. Pikiran – pikiran yang bisa dikatakan berbahaya untuk hubungan aku dan kamu selalu saja berusaha mempengaruhi pendirianku.
Pendirian yang mengatakan kamu takkan seperti yang kupertanyakan.

Hingga akhirnya segalanya menjadi kenyataan. Kita bertengkar.
Tidak, tidak. Kita tak bertengkar. Hanya saja aku yang menjadi terdiam.
Setelah kata – kata milikmu yang terkesan begitu ingin mengubah apa yang ada pada diriku saat ini.
Kamu melakukannya berulang kali.
Dengan nada canda yang entah kenapa semakin menyakitiku perlahan. 
Membentuk sebuah ketakutan dalam diriku.
Dan kamu tahu? Aku pun berulang kali mengatakan sesuatu kepada diriku sendiri.
“Kamu pasti punya maksud yang baik dengan mengatakan hal itu. Aku senang kamu memperhatikan aku dengan begitu baik.”
Namun sayang, kali itu logika sepertinya sedang ingin memainkan perannya.
Ia seakan melarangku untuk berpikir positif atas apa yang terjadi meski aku telah berusaha melakukannya.

Maaf. Bila kemudian aku mendiamkan kamu.
Aku hanya tak mengerti apa yang harus kulakukan terhadap kamu setelahnya.



Dan setelah kukatakan kejujuran padamu ...............................
Kamu menjelaskan sesuatu padaku.
Yang mau tak mau membuatku mengunci bibirku sendiri. Lagi - lagi aku terdiam. :')
Termasuk apa yang terekam dalam pesan suara milikmu untukku.

December 26, 2012 | 11.50 AM | VN00003-20121226-1127 | 1:48
...................................................
.........................
...................................................
Satu lagi yang kamu bilang kayanya aku nggak suka sama kamu, tolong jangan bilang gitu lagi.
Aku macarin kamu karena aku memang sayang sama kamu.
Dan aku.... Aku nggak pernah pacaran ngeliat fisik.
Aku selalu lihat semuanya.
Tolong jangan bilang aku nggak sayang dan nggak suka sama kamu.
Karena aku sayang banget sama kamu.
Sekali lagi maafin aku ya. Aku nggak pernah ada niat untuk menuntut kamu.
Sekali lagi aku sayang banget sama kamu.


Untuk kamu.
Dan diriku yang selalu ingin menjaga kamu.
Aku takkan lagi mau menyebut aku dan kamu.
Sebab setelah memutuskan untuk bersatu aku dan kamu telah berubah menjadi kita.
Dan aku mencintai kamu. Aku mencintai kita.
Aku pun takkan mengubah apa yang ada dalam dirimu sesuai inginku.
Sebab hal pertama yang membuatku jatuh cinta kepada kamu,
adalah dirimu yang sesungguhnya.
Kamu yang hadir menyempurnakan diriku. 
Dan aku yang takkan sempurna tanpa dirimu.
:))



______________________________________________________________________________________________

“My happy ever after but only if you’re here. When I’m lost and broken.
Take me as I am.
(Take us for who we are)
Right here where I stand. Open up your arms and let me in.”
-David Cook-


Back to Top